Uji materi terhadap Pasal 222 UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 itu diajukan sejumlah perorangan warga negara, di antaranya Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry Joko Yuliantono dan mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo. Ada pula anggota DPD RI Tamsil Linrung, Edwin Pratama Putra, dan Fahira Idris.
Mahkamah menilai para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan tersebut, sehingga mahkamah tidak dapat menerima permohonan.
Mahkamah menegaskan, yang bisa menguji aturan tersebut adalah partai politik atau gabungan partai politik.
Selain itu juga individu yang dapat membuktikan diri dicalonkan sebagai capres-cawapres atau individu bersama dengan partai politik pengusung capres-cawapres.
"Amar putusan. Mengadili menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima," kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusan di Gedung MK, Kamis (24/2/2022).
Namun, empat hakim konstitusi mengajukan pendapat yang berbeda (dissenting opinion). Mereka adalah Manahan MP Sitompul, Enny Nurbaningsih, Suhartoyo, dan Saldi Isra.
Hakim konstitusi Manahan MP Sitompul dan Enny Nurbaningsih berpendapat, pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan mengenai ketentuan presidential threshold.
Namun, pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum, sehingga permohonan harus dinyatakan ditolak.
Menurut Manahan, sesuai putusan Mahkamah sebelumnya, ketentuan presidential threshold bertujuan untuk mendapatkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan legitimasi yang kuat dari rakyat.
Selain itu, ketentuan tersebut juga dalam rangka mewujudkan sistem presidensial yang efektif berbasis dukungan dari DPR.
Mahkamah juga telah menyatakan presidential threshold merupakan kebijakan hukum terbuka atau open legal policy, sehingga merupakan ranah pembentuk undang-undang untuk menentukan dan/atau akan mengubah besaran persyaratan tersebut.
"Karena itu, mendasarkan syarat perolehan suara (kursi) partai politik di DPR dengan persentase tertentu untuk dapat mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagaimana ketentuan Pasal 222 UU 7/2017 adalah konstitusional," ucapnya.
Adapun hakim konstitusi Suhartoyo dan Saldi Isra berpendapat pemohon memiliki kedudukan hukum dan dalam pokok permohonan beralasan menurut hukum. Suhartoyo dan Saldi Isra menyatakan, permohonan pemohon mestinya dikabulkan MK.
Upaya uji materi akan dilanjutkan
Dikutip dari Kompas.id, Ketua MK periode 2003-2008 Jimly Asshiddiqie mengapresiasi putusan MK yang konsisten dengan putusan sebelumnya.
"Putusan konsisten dengan yang sebelumnya. Moderat. Tidak menolak, tapi juga bukan mengabulkan tapi NO. Bisa saja suatu hari kelak ada perkembangan baru sehingga dikabulkan," kata Jimly.
Sementara itu, enam partai politik nonparlemen sudah bersiap untuk kembali mengajukan uji materi.
Sekretaris Jenderal PBB Afriansyah Noor mengatakan, pimpinan partai politik peserta Pemilu 2019 yang tidak memiliki kursi di DPR telah bertemu pada 23 Februari 2022.
Mereka sepakat akan mengajukan uji materi Pasal 222 UU 7/2017 dan meminta presidential threshold dihapuskan.
Menurut Pasal 222 UU Pemilu, hanya parpol atau gabungan parpol yang memiliki minimal 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya yang dapat mengajukan capres/cawapres.
Afriansyah yakin partai-partai nonparlemen akan memenuhi syarat legal formal untuk uji materi.
Sebab, mereka dirugikan secara konstitusional karena tidak dapat mengajukan capres/cawapres. Padahal, jika digabungkan, suara keenam partai itu mencapai 13,5 juta suara atau sekitar 10 persen.
"Kami tidak mau lagi dirugikan secara konstitusional di Pemilu 2024. Masak dipakai raihan kursi dan suara parpol di Pemilu 2019. Itu tidak fair. Parpol pemilik suara di 2019 bisa saja menurun di 2024," ujarnya.
Ditolak berkali-kali
Sebelum Gatot, uji materi soal presidential threshold telah berkali-kali diajukan dan berkali-kali juga ditolak.
Contohnya, pada September 2020 lalu, Mantan Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli juga mengajukan permohonan tersebut ke MK.
Gugatan itu diputuskan MK pada pertengahan Januari 2021. MK memutuskan menolak gugatan Rizal karena dinilai tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan.
Dalam persidangan yang digelar Kamis (14/1/2021), Hakim Konstitusi Arief Hidayat menjelaskan, Rizal tidak memberikan bukti bahwa dia pernah pernah dicalonkan sebagai presiden oleh partai politik.
Jelang Pilpres 2019 lalu, ketentuan tentang presidential threshold juga pernah ramai-ramai digugat ke MK.
Setidaknya, ada 12 orang yang menjadi pemohon dalam gugatan tersebut yakni mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) M. Busyro Muqoddas, mantan Menteri Keuangan M. Chatib Basri, Akademisi Faisal Basri, mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hadar Nafis Gumay.
Mantan pimpinan KPK Bambang Widjojanto, Akademisi Rocky Gerung, Akademisi Robertus Robet, Direktur Pusako Universitas Andalas Feri Amsari, Sutradara Film Angga Dwimas Sasongko.
Selain itu, ada pula Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak, Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, dan Profesional Hasan Yahya.
Namun begitu, MK lagi-lagi juga menolak gugatan itu. Gugatan Busyro dkk dinilai tidak beralasan menurut hukum.
Selain itu, hakim juga tidak sependapat dengan argumentasi pemohon yang menilai bahwa ambang batas pencalonan berpotensi menghadirkan paslon tunggal.
https://nasional.kompas.com/read/2022/02/25/08501481/gugatan-presidential-threshold-20-persen-kandas-lagi-di-mk