Cerita itu disampaikan Dahlan dalam program Beginu di YouTube Channel Kompas.com yang dirilis pada Senin (7/2/2022).
Meski tak lagi menjadi bagian dari media asal Surabaya, Jawa Timur, itu, Dahlan mengenang masa-masa perjuangannya membangkitkan Jawa Pos dari keterpurukan.
Ia juga menolak jika disebut sebagai pendiri Jawa Pos karena koran itu telah didirikan oleh seorang pengusaha bernama The Chung Sen atau Soeseno Tedjo pada 1 Juli 1949.
“Pendirinya seorang pengusaha yang ada kaitannya dengan bioskop. Dia tukang kirim film ke bioskop. Karena sering pasang iklan di koran, beliau akhirnya tahu bahwa koran itu begitu,” ucap Dahlan.
Dahlan mengungkapkan, The Chung Sen sebenarnya punya tiga orang anak yang tinggal di London.
Jelang hari tua, ia sempat meminta dua orang anaknya untuk memimpin Jawa Pos. Sayang, upaya itu tak membuahkan hasil.
Lantas dalam kondisi perusahaan yang kian memburuk dan usianya yang menginjak 90 tahun, The Chung Sen menjual Jawa Pos.
Jawa Pos kemudian dibeli oleh PT Gratifitti yang merupakan penerbit dari Majalah Tempo.
“Saya waktu itu wartawan Tempo, menjadi Kepala Biro Tempo Jawa Timur, ketika Jawa Pos dijual dan dibeli Grafitti, saya diminta memimpin itu,” kata Dahlan.
“Jadi saya tidak menemukan (Jawa Pos), saya mendapatkan,” sebutnya.
Dahlan kemudian menjadi orang nomor 1 di Jawa Pos pada tahun 1982, kala itu ia baru berusia 31 tahun.
Tantangan pertama yang dihadapinya adalah membawa perubahan di Jawa Pos, baik dari sisi jurnalisme maupun aspek bisnisnya.
Dahlan menuturkan, punya banyak amarah pada nilai jurnalisme di Jawa Pos yang terkumpul sejak dirinya menjadi wartawan Tempo.
Sebab, Dahlan selalu membaca Jawa Pos setiap hari untuk mencari ide liputan yang berbeda untuk Majalah Tempo.
Sebagai wartawan Tempo dan pembaca Jawa Pos, Dahlan mengaku geram dengan kualitas jurnalisme dan wartawan di Jawa Pos saat itu.
“Jadi tidak pernah ada berita di Jawa Pos yang dicari oleh wartawannya. Berita itu selalu ketika ada acara atau konferensi pers. Ini terus di mana fungsi wartawannya?” tutur dia.
Amarah Dahlan itu diakuinya menjadi modal utama untuk membenahi Jawa Pos. Dahlan sempat berandai-andai jika diminta mengelola koran itu, langkah apa saja yang akan diambilnya untuk membawa perubahan.
“Seandainya saya kelola koran ini akan saya beginikan, beginikan. Tapi tidak menyangka bahwa suatu saat saya diserahi itu (mengelola Jawa Pos),” papar dia.
“Ketika pada akhirnya diserahi itu sebetulnya sudah penuh kemarahan di kepala saya, pada kondisi jurnalismenya,” sambungnya.
Setelah Dahlan memimpin, ia melakukan perubahan besar. Para wartawan Jawa Pos mesti berburu berita sendiri tanpa banyak mengandalkan rilis atau acara seremonial pemerintah.
Ia juga berpegang pada tagline Jawa Pos yaitu “selalu ada yang baru.”
Untuk Dahlan, sebuah kemajuan tidak bisa diraih jika tidak menjadi pembeda.
“Tidak mungkin bangkit kalau kita melakukan apa yang orang sudah lakukan. Ciri bangkitkan melanjutkan sesuatu yang baru,” imbuh dia.
https://nasional.kompas.com/read/2022/02/08/13331021/cerita-dahlan-iskan-benahi-jawa-pos-bermodalkan-amarah