Keduanya merupakan terdakwa kasus suap dan gratifikasi penanganan perkara di MA.
“Pidana pengganti dijatuhkan umumnya kalau ada kerugian keuangan negara. Dalam perkara ini tidak ada kerugian keuangan negara,” tutur Maqdir pada Kompas.com, Jumat (7/1/2022).
Berdasarkan putusan MA tersebut, Nurhadi dan Rezky tetap dijatuhi hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsidair 6 bulan kurungan.
Namun, dalam putusan itu Nurhadi dan Rezky tidak dibebankan pidana pengganti.
Bahkan, Maqdir mengatakan, Nurhadi mestinya divonis bebas karena suap yang diberikan oleh Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (PT MIT) Hiendra Soenjoto tidak terbukti.
“Pemberi suap tidak pernah mengakui memberi uang kepada Pak Nurhadi, begitu juga Pak Nurhadi tidak pernah terbukti menerima uang dari Hiendra,” kata dia.
Maqdir juga menampik adanya aliran dana melalui Rezky untuk penerimaan gratifikasi pada Nurhadi.
“Mengenai penerimaan gratifikasi yang tidak lapor, tidak ada saksi yang menerangkan bahwa uang yang mereka berikan pada Rezky untuk Pak Nurhadi karena mengurus perkara,” kata dia.
Dalam putusan pengadilan tingkat pertama, majelis hakim juga tidak menjatuhkan vonis pidana pengganti pada keduanya.
Putusan itu bertolak belakang dengan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang meminta keduanya dikenakan pidana pengganti senilai total Rp 83,013 miliar.
Menurut Maqdir Ismail, pidana pengganti memang tidak diberikan pada kliennya.
Adapun per Kamis (6/1/2021), KPK mengeksekusi Nurhadi dan Rezky ke Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat.
Selain itu KPK, mengeksekusi Hiendra ke Lapas Sukamiskin untuk menjalani pidana penjara selama 4 tahun 6 bulan.
https://nasional.kompas.com/read/2022/01/08/14021621/kasasi-diputus-nurhadi-dan-menantunya-tak-wajib-bayar-uang-pengganti