Mereka yang tergabung dalam Paguyuban Pegawai Pemerintah Non-PNS (PPNPN) BPPT itu sebelumnya kehilangan status pekerjaan, imbas peleburan BPPT ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
"Mereka mengadu tentang nasib ketidakjelasan masa depan mereka, karena sampai saat ini belum ada juga kejelasan status kepegawaian kontrak," kata Kepala Komnas HAM Beka Ulung Hapsara setelah beraudiensi dengan perwakilan Paguyuban PPNPN BPPT.
"Juga yang mereka permasalahkan, tidak ada sosialisasi yang cukup baik kepada karyawan yang berstatus PPNPN di lingkungan BPPT," tambahnya.
Sejauh ini, Paguyuban PPNPN baru mendaftar ratusan tenaga yang dipaksa hengkang oleh BRIN dari sedikitnya tiga balai di BPPT.
Tiga balai itu yakni Balai Besar Teknologi Kekuatan Struktur (B2TKS), Teknik Survei Kelautan (Teksurla), dan Bioteknologi.
Diperkirakan ada ratusan PPNPN lain yang tersebar di lebih dari 20 balai di BPPT, yang jumlahnya masih sedang dilengkapi oleh Paguyuban.
"Ini baru sebagian yang mewakili, karena ada ratusan orang yang bernasib sama karena integrasi ke BRIN ini," kata Beka.
"(Paguyuban) juga sedang menyusun data-data terkait dengan berapa lama masa kerja dari masing-masing orang, karena ada yang 17 tahun, ada yang 19 tahun dan yang lain sebagainya. Itu juga kami, Komnas HAM, sedang meminta kelengkapan data itu," jelasnya.
Meminta dipekerjakan kembali
Sekretaris Paguyuban Rudi Jaya menyebut bahwa ratusan ilmuwan BPPT yang bernasib serupa dengan mereka tidak menuntut pesangon, tetapi hanya dikaryakan kembali.
Terlebih lagi, mayoritas dari mereka usianya sudah terkuras lantaran mengabdi belasan tahun di sana, sebelum terpaksa angkat kaki secara tiba-tiba dan sepihak akibat keberadaan BRIN.
"Ketika terjadi pemutusan kerja, kami bingung sekarang mau seperti apa. Karena sekarang mau usaha juga dalam masa pandemi. Kami mau kerja lagi juga mentok di umur," ucap Rudi kepada wartawan di kantor Komnas HAM.
"Tuntutan kami tidak terlalu besar. Kami hanya menuntut belas kasihan dari para pimpinan kami, karena dalam masa seperti ini (pandemi Covid-19), tanggung jawab kami sebagai tulang punggung keluarga kan berat sekali. Pilihan kami hanya meminta untuk dipekerjakan kembali," lanjutnya.
Rudi mengaku tak pernah mendengar adanya opsi-opsi yang disediakan BRIN agar pegawai-pegawai sepertinya dapat kembali melanjutkan kerja-kerja risetnya sebagai pegawai pemerintah.
Ia menyebut bahwa ia dan kolega-koleganya siap sedia untuk melakukannya, jika opsi untuk melanjutkan pekerjaan mereka memang ada.
"Kalau misalkan disodorkan, apakah kami diajukan untuk menjadi PNS, tentu kami senang sekali," ucap Rudi.
"Apalagi kami sudah mengenal betul medan tempat kami bekerja. Artinya, kami sudah sangat familiar di situ dan kani selalu siap untuk membantu negara dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan riset di instansi kami," tuturnya.
Negara harus hargai ilmuwan
Komnas HAM mendesak negara agar menghargai pengabdian para ilmuwan, tak hanya ilmuwan BPPT.
Sebelum BPPT, Lembaga Eijkman juga bernasib serupa karena puluhan peneliti yang berstatus non-PNS terpaksa angkat kaki imbas peleburan dengan BRIN.
Selain BPPT, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), serta Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) juga dilebur menjadi sebatas organisasi riset di BRIN.
Batan menjadi Organisasi Riset Tenaga Nuklir, Lapan menjadi Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa, serta BPPT menjadi Organisasi Riset Pengkajian dan Penerapan Teknologi.
Sementara itu, LIPI menjadi Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Hayati dan Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Kebumian.
"Saya kira, tenaga-tenaga potensial atau sumber daya manusia yang potensial di republik ini harus dihargai sejarahnya dan perannya terhadap riset yang ada di Indonesia," kata Beka.
"Saya kira negara harus menghargai jerih payah atau upaya kerja keras dari kawan-kawan ini semua. Meskipun tidak terlihat di media, atau terlihat di publik, tapi riset-riset yang ada itu juga saya kira membantu Indonesia lebih maju," ungkapnya.
Komnas HAM membuka kemungkinan memanggil BRIN terkait ilmuwan-ilmuwan yang terpaksa kehilangan pekerjaan imbas peleburan lembaga penelitian mereka ke BRIN.
"Komnas HAM tentu saja merespons aduan ini dan akan menindaklanjuti dengan meminta keterangan kepada pihak-pihak terkait, termasuk BRIN, terkait dengan skema kepegawaian mereka, lalu juga bagaimana solusi atas ratusan staf," kata Beka.
Beka juga tak menutup kemungkinan memanggil kementerian atau lembaga terkait peleburan lembaga-lembaga penelitian ke BRIN.
"Karena ini kan, bagaimanapun juga, integrasi BRIN ini kan juga ada rentetannya dengan Undang-Undang Cipta Kerja," ujar dia.
https://nasional.kompas.com/read/2022/01/06/09555841/ironi-ilmuwan-pasca-peleburan-brin-yang-mengabdi-yang-terpaksa-angkat-kaki