Sepanjang tahun kemarin, DPR hanya mengesahkan 8 dari 37 RUU yang masuk Prolegnas Prioritas.
"Jika berkaca ke belakang, maka dapat dikatakan bahwa Prolegnas masih mengalami potret buram," ujar Atang dalam keterangan pers, Minggu (2/1/2022).
Delapan RUU yang disahkan DPR adalah revisi UU Kejaksaaan, revisi UU Jalan, revisi UU Otonomi Khusus Papua, RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan, RUU Hubungan Keuangan Pusat dan Derah, serta tiga RUU mengenai pembentukan pengadilan di beberapa daerah.
Capaian legislasi DPR tahun ini tak jauh berbeda dibanding lima tahun sebelumnya di mana DPR hanya mengesahkan 3 RUU pada 2015, 10 RUU pada 2016, 6 RUU pada 2017, 5 RUU apda 2018, 14 RUU pada 2019, dan 3 RUU pada 2020.
Atang mengingatkan, Prolegnas mestinya disusun secara hati-hati sesuai urgensi yang didasarkan pada tujuan bernegara.
"Sehingga Prolegnas bukan hanya keranjang sampah yang kemudian dipungut dengan dasar kesukaan lembaga pembentuk undang-undang," kata dia.
Ia pun menyayangkan, RUU yang sangat mendesak justru tidak dibahas dan disahkan DPR. Beberapa di antaranya, yaitu RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, dan RUU Masyarakat Hukum Adat.
"Sebaiknya tarik menarik kepentingan dan perbedaan pandangan menjadi kekuatan pokok dalam perumusan, pembahasan dan penetapan RUU yang berimplikasi kepada perlindungan hak-hak fundamental rakyat," tuturnya.
Atang berpendapat, pemerintah perlu membentuk sebuah pusat/badan regulasi nasional. Nantinya, badan ini langsung berada di bawah presiden.
Menurut dia, pembentukan pusat/badan legislasi nasional ini dimungkinkan berdasarkan UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
"Tujuannya, agar dalam segi formal peraturan perundang-undangan tidak berakibat munculnya disharmoni/bertentangan, dan juga agar tertata dengan baik serta lebih efektif dan efisien," kata dia.
https://nasional.kompas.com/read/2022/01/02/17230671/dpr-hanya-sahkan-8-ruu-di-2021-ketua-dpp-nasdem-potret-buram-prolegnas