Salin Artikel

[KALEIDOSKOP 2021] Rapor Merah Capaian Legislasi DPR dan Pelajaran dari UU Cipta Kerja

JAKARTA, KOMPAS.com - Capaian kinerja legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tahun 2021 kembali mendapatkan rapor merah setelah hanya mengesahkan 8 rancangan undang-undang (RUU) dari 37 yang masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021.

"Persoalan capaian kinerja legislasi di tahun 2021 ini mengulang kejadian di tahun-tahun sebelumnya, di mana jumlah RUU yang disahkan sangat minim dibanding target yang dicanangkan," kata peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Fajri Nursyamsi, Selasa (28/12/2021).

Delapan RUU yang disahkan DPR adalah revisi UU Kejaksaaan, revisi UU Jalan, revisi UU Otonomi Khusus Papua, RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan, RUU Hubungan Keuangan Pusat dan Derah, serta tiga RUU mengenai pembentukan pengadilan di beberapa daerah.

Capaian legislasi DPR tahun ini tak jauh berbeda dibanding lima tahun sebelumnya di mana DPR hanya mengesahkan 3 RUU pada 2015, 10 RUU pada 2016, 6 RUU pada 2017, 5 RUU apda 2018, 14 RUU pada 2019, dan 3 RUU pada 2020.

Fajri mengakui, akan selalu ada potensi deadlock atau perdebatan berlarut dalam proses pembahasan RUU di parlemen.

Namun, menurut dia, hal itu bisa diatasi apabila elaborasi isu dalam suatu RUU sudah dimulai sejak belum masuk Prolegnas.

"Hal ini tidak dilakukan oleh DPR atau pemerintah, yang cenderung menutup transparansi di awal proses," kata Fajri.

Fajri juga memberikan catatan kepada DPR dan pemerintah untuk menyebarluaskan draf RUU atau dokumen lain terkait proses legislasi yang sedang berjalan kepada publik.

Kritik serupa juga dikemukakan peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus yang turut menyoroti rendahnya capaian legislasi DPR.

Menurut Lucius, hal itu murni disebabkan minimnya komitmen DPR untuk merampungkan RUU yang menumpuk, di samping karena perencanaan legislasi yang cenderung bombastis.

"Jika DPR punya kemauan, mereka terbukti bisa bekerja sangat cepat untuk menyelesaikan sebuah RUU," kata Lucius.

Ia mencontohkan, 8 RUU yang disahkan DPR pada tahun ini rampung dibahas dalam waktu singkat, tetapi DPR terkesan lambat untuk menyelesaikan RUU lainnya.

Secara khusus, Lucius menyoroti sejumlah RUU yang sudah lama didesak publik untuk disahkan tetapi tak kunjung dituntaskan, antara lain RUU Perlindungan Data Pribadi, RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dan RUU Penanggulangan Bencana.

"Semuanya bisa dibahas dalam waktu yang singkat. Akan tetapi pada RUU lain DPR nampak lamban. Itu tentu karena tak jelas komitmen mereka pada RUU-RUU yang belum tuntas itu," ujar Lucius.

Ia berpendapat, hal itu menunjukkan bahwa faktor kepentingan di balik sebuah RUU sangat menentukan cepat atau tidaknya sebuah RUU dirampungkan.

"Semakin sebuah RUU punya kepentingan dengan elite baik di eksekutif maupun elite parpol atau lembaga-lembaga lain, semakin cepat DPR bisa membahas RUU itu," ujar Lucius.

"Sebaliknya jika urusan hanya untuk melayani kepentingan publik, DPR terlihat lamban," imbuh dia.

Pelajaran dari UU Cipta Kerja

Kendati demikian, Lucius menilai cepatnya DPR dalam menyetujui sebuah kebijakan tak selalu berarti kebijakan itu dipertimbangkan secara matang dan sesuai dengan kepentingan publik.

Menurut dia, proses yang cepat itu lebih cenderung karena pemerintah telah 'mengendalikan' DPR, sehingga sebagai lembaga legislatif DPR hanya manut kepada lembaga eksekutif, tanpa menunjukkan sikap kritisnya.

"Ketika DPR cenderung menjadi sekadar “stempel” pemerintah, maka kualitas kebijakan seperti RUU yang dihasilkan menjadi terabaikan," kata Lucius.

Hal itu, setidaknya, terbukti dari putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat.

Dalam pertimbangannya, MK menilai, metode penggabungan atau omnibus law dalam UU Cipta Kerja tidak jelas, apakah metode tersebut merupakan pembuataan UU baru atau melakukan revisi.

Mahkamah juga menilai, dalam pembentukannya, UU Cipta Kerja tidak memegang asas keterbukaan pada publik meski sudah melakukan beberapa pertemuan dengan sejumlah pihak.

"Pola kerja DPR dalam pembahasan hampir semua RUU selama tahun 2021 juga hampir sama dengan proses pembahasan UU Cipta Kerja yakni kecenderungan untuk membahas terburu-buru sembari menghindari partisipasi publik demi memuluskan pengaturan yang memihak kepada kelompok elite," kata Lucius.

Sementara itu, Fajri berpendapat, putusan MK itu harus menjadi pelajaran bahwa proses pembentukan UU yang berlangsung di Senayan harus melibatkan partisipasi publik.

"Putusan ini memberikan penegasan bahwa partisipasi publik yang selama ini kerap tidak menjadi prioritas oleh pembentuk undang-undang justru memiliki peran yang vital," kata Fajri.

Ia berpandangan, selama ini DPR bersama pemerintah kerap memberi penafsiran yang terbatas terhadap partisipasi publik, yakni hanya melalui rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi, seminar, lokakarya, atau diskusi.

Untuk itu, Fajri meminta agar partisipasi publik mesti mendapat porsi yang layak dalam pembentukan undang-undang.

Menurut dia, ruang bagi publik untuk memberikan masukan mestinya tidak terbatas pada kehendak DPR, misalnya melalui RDPU di mana DPR dapat memilih dan memilah siapa yang boleh memberi masukan.

"Dalam hal ini, ruang-ruang partisipasi publik tersebut perlu diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pembentukan peraturan perundang-undangan," kata Fajri.

Tergantung dinamika

Menanggapi itu, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Achmad Baidowi menyatakan, cepat tidaknya sebuah RUU dituntaskan sangat tergantung pada dinamika yang terjadi karena perbedaan pandangan tiap fraksi.

Ia pun menegaskan, tugas pembentukan UU tidak hanya dibebankan kepada Baleg, tetapi juga alat kelengkapan dewan (AKD) lainnya.

"Pengambilan keputusan itu tergantung fraksi, bukan tergantung AKD karena AKD itu kepanjangan tangan dari fraksi. Kalau fraksi-fraksi belum sepakat ya belum bisa," kata politikus PPP itu.

Willy Aditya, wakil ketua Baleg lainnya, menambahkan bahwa menghasilkan produk legislasi bukanlah satu-satunya tugas DPR dewasa ini.

Menurut politikus Partai Nasdem itu, ada perubahan tren di mana parlemen kini mulai mengutamakan fungsi pengawasan atas pelaksanaan UU dan peraturan turunannya ketimbang membentuk UU baru.

"Prolegnas tentu menjadi sebuah kisi-kisi atau rambu-rambu untuk memenuhi mana praturan yang masih kosong, iya, tapi juga tidak hanya itu yang menjadi fokus DPR hari ini," ujar Willy.

Ia mengatakan, DPR saat ini tentu berbeda dengan DPR pada awal masa Reformasi yang menggenjot pembentukan UU sebagai bentuk institusionalisasi demokrasi.

"Sekarang institusionalisasinya sudah terjadi, tentu proses pengawasan dan pendalamannya (yang diutamakan)," ujar dia.

Ia menambahkan, dalam rangka perbaikan UU Cipta Kerja, DPR sudah membentuk tim yang bekerja sama dengan 10 kampus untuk menyerap aspirasi.

Selain itu, DPR juga akan merevisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan untuk mengatur metode omnibus law dalam pembentukan UU.

https://nasional.kompas.com/read/2021/12/30/06050081/-kaleidoskop-2021-rapor-merah-capaian-legislasi-dpr-dan-pelajaran-dari-uu

Terkini Lainnya

Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

Nasional
Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

Nasional
KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

Nasional
Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Nasional
Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

Nasional
Minta MK Urai Persoalan pada Pilpres 2024, Sukidi: Seperti Disuarakan Megawati

Minta MK Urai Persoalan pada Pilpres 2024, Sukidi: Seperti Disuarakan Megawati

Nasional
PPATK Bakal Tindaklanjuti Informasi Jokowi soal Indikasi Pencucian Uang lewat Aset Kripto Rp 139 Triliun

PPATK Bakal Tindaklanjuti Informasi Jokowi soal Indikasi Pencucian Uang lewat Aset Kripto Rp 139 Triliun

Nasional
Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Koarmada I Siapkan KRI Halasan untuk Tembak Rudal Exocet

Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Koarmada I Siapkan KRI Halasan untuk Tembak Rudal Exocet

Nasional
Yusril: Tak Ada Bukti Kuat Kubu Prabowo-Gibran Curang di Pilpres 2024

Yusril: Tak Ada Bukti Kuat Kubu Prabowo-Gibran Curang di Pilpres 2024

Nasional
Hakim MK Diminta Selamatkan Konstitusi lewat Putusan Sengketa Pilpres 2024

Hakim MK Diminta Selamatkan Konstitusi lewat Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
MK Bakal Unggah Dokumen 'Amicus Curiae' agar Bisa Diakses Publik

MK Bakal Unggah Dokumen "Amicus Curiae" agar Bisa Diakses Publik

Nasional
PSI Punya 180 Anggota DPRD, Kaesang: Modal Baik untuk Pilkada

PSI Punya 180 Anggota DPRD, Kaesang: Modal Baik untuk Pilkada

Nasional
Polri Sebut 8 Teroris yang Ditangkap di Sulteng Pernah Latihan Paramiliter di Poso

Polri Sebut 8 Teroris yang Ditangkap di Sulteng Pernah Latihan Paramiliter di Poso

Nasional
MK Kirim Surat Panggilan untuk Hadiri Pembacaan Putusan Sengketa Pilpres 2024

MK Kirim Surat Panggilan untuk Hadiri Pembacaan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Putusan MK Soal Sengketa Pilpres 2024 Dinilai Bakal Tunjukan Apakah Indonesia Masih Negara Hukum

Putusan MK Soal Sengketa Pilpres 2024 Dinilai Bakal Tunjukan Apakah Indonesia Masih Negara Hukum

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke