"Gerindra itu tidak mengenal adanya oligarki. Bahkan terhadap anak pendiri Gerindra pun itu tidak ada keistimewaan," kata dalam pidato penutupan Kongres Tidar, di Hotel Grand Sahid, Jakarta, Minggu (19/12/2021).
Dalam kesempatan yang sama, Dasco menyinggung regenerasi partai politik lain yang ia nilai kurang berjalan. Namun demikian, ia tak menyebutkan detail partai yang ia maksud.
"Jadi tidak seperti partai lain yang bapaknya mendirikan partai dan ketua umum partai, tiba-tiba anaknya langsung dikarbit," ujarnya.
Apa itu oligarki?
Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), oligarki adalah pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu.
Oligarki berasal dari bahasa Yunani, "oligarkhes", yang berarti sedikit yang memerintah.
Di dalam ilmu negara, banyak konsep tentang oligarki. Salah satu yang paling populer yakni gagasan filsuf Plato.
Teorinya menyebutkan bahwa oligarki merupakan bentuk pemerosotan dari pemerintahan aristokrasi, pemerintahan yang dipimpin cerdik pandai, menjadi dipimpin segolongan kecil yang memerintah demi kepentingan golongan itu sendiri.
Adapun menurut Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Feri Amsari, oligarki dapat diartikan sebagai pemerintahan yang dikendalikan oleh sekelompok orang dengan tidak baik.
Partai politik di Indonesia dalam oligarki
Masih menurut Feri Amsari, hampir seluruh partai politik di Indonesia ia nilai terjebak pada oligarki.
Di tubuh Gerindra sekalipun, banyak keluarga Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra, yang duduk sebagai elite partai.
Sebutlah adik Prabowo, Hashim Djojohadikusumo. Hashim menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina DPP Gerindra.
Kemudian, putri Hashim yang juga keponakan Prabowo, Rahayu Saraswati, menjabat sebagai Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra.
Baru-baru ini Rahayu didapuk sebagai Ketua Umum Tidar, organisasi sayap partai berlambang kepala garuda itu.
"Tentu masalah oligarki ini akan merusak profesionalitas partai," kata Feri kepada Kompas.com, Senin (20/12/2021).
Kaderisasi tak berjalan
Hal yang sama juga disampaikan oleh Pengamat Politik dari Universitas Al-Azhar Ujang Komarudin. Ia menilai, hampir semua partai bersifat oligarki.
"Bahkan tak ada satu pun partai yang tak melakukan oligarki. Karena di semua partai, hanya orang tertentu atau kelompok tertentu mengusai partai-partai itu," kata Ujang saat dihubungi Kompas.com, Senin.
Menurut Ujang, oligarki di tubuh partai politik merupakan fenomena umum yang sudah lama terjadi. Malahan, belakangan kecenderungan itu makin kuat.
Ujang menilai, hampir di semua partai politik proses kaderisasi, rekrutmen, dan demokratisasi tidak berjalan.
"Semua partai yang ada mempraktikan oligarki. Jika mereka mengatakan tidak, itu hanya bantahan yang tak masuk akal," kata dia.
Capres Lo Lagi, Lo Lagi
Oligarki partai politik membawa dampak serius. Menurut Ujang, hal ini berujung pada pembajakan demokrasi.
Tak bisa dihindarkan bahwa oligarki menghambat regenerasi. Bahkan, minimnya figur calon presiden juga buah dari kuatnya oligarki partai politik di Tanah Air.
"Demokrasi dibajak dan dikebiri. Akhirnya demokrasi hanya ada di atas kertas, tak betul-betul terimplementasikan dalam kehidupan bernegara," kata Ujang.
"Capres yang L4, lo lagi lo lagi," tuturnya.
Ujang menilai, sulit untuk menghindari cengkraman oligarki. Sistem ini hanya bisa diakhiri jika seluruh kader partai bersedia membangun partai modern dan bersifat meritokrat.
Lebih jauh lagi, Feri Amsari berpandanga , oligarki partai bisa berujung pada korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hal ini bertentangan dengan prinsip NKRI menjadi negara demokratis.
Menurut Feri, oligarki partai dapat diakhiri jika seluruh anggota partai punya komitmen.
"Benahi 5 hal, pemilihan ketua harus demokratis dan dibatasi masa jabatannya, pemilihan kandidat legislatif/presiden/kepala daerah ditentukan kader," kata Feri.
"Tata ulang relasi pengurus pusat dan daerah partai, sengketa internal dibenahi, dan keuangan partai yanf transparan dan terbuka," pungkasnya.
https://nasional.kompas.com/read/2021/12/21/10423961/ironi-oligarki-di-parpol-indonesia-lo-lagi-lo-lagi