"Kami menilai bahwa surat telegram TNI ini inkonstitusional. Sebab melanggar prinsip equality before the law (persamaan di hadapan hukum) sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945," ujar peneliti Kontras Rozy Brilian, dalam keterangan tertulis, Kamis (25/11/2021).
Dalam surat telegram ini, Polri, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan aparat penegak hukum lainnya kini tak bisa sembarangan memanggil prajurit TNI untuk dimintai keterangan terkait sebuah perkara.
Dalam aturan baru, pemanggilan prajurit TNI yang tersandung permasalahan hukum oleh kepolisian harus melalui komandan atau kepala satuan.
Adapun surat telegram ini keluar tak lepas adanya sejumlah peristiwa pemanggilan prajurit TNI oleh Korps Bhayangkara yang dinilai tidak sesuai prosedur.
Karena itu, aturan ini dibuat bertujuan untuk menghindari kesalahpahaman, meminimalkan permasalahan hukum, dan terselenggaranya ketaatan prajurit TNI.
Di sisi lain, Rozy menilai, surat telegram ini menempatkan aparat penegak hukum dalam situasi yang menyulitkan.
Sebab, mereka akan kesulitan dalam mengusut tuntas pelanggaran yang dilakukan oleh aparat militer karena memiliki berbagai keterbatasan. Hal ini sebagaimana substansi surat telegram tersebut.
Misalnya, terkait hal melakukan pemanggilan dalam suatu proses hukum. Sesuai aturan itu, penegak hukum harus melalui dan berkoordinasi dengan komandan atau kepala satuan TNI terkait.
Menurut Rozy, penambahan prosedur ini menjadikan mekanisme hukum semakin berbelit sehingga berimplikasi pada lemahnya penegakan hukum materiil.
"Belum lagi kultur atasan yang seringkali melindungi bawahannya apabila melakukan pelanggaran," ujar Rozy.
Selain itu, Rozy menegaskan, surat telegram ini merupakan upaya untuk memberikan keistimewaan bagi aparat TNI agar kebal terhadap proses hukum yang berlaku.
Padahal, selama ini proses pelanggaran hukum yang dilakukan oleh prajurit TNI masih jauh dari sistem yang transparan dan akuntabel.
Lahirnya peraturan baru ini pun dianggap akan semakin menunjukkan upaya perlindungan dari kesatuan terhadap anggotanya dan menebalkan impunitas di tubuh TNI.
Di samping itu, surat telegram ini juga dikhawatirkan akan sangat berbahaya bagi mental prajurit TNI yang akan dengan mudahnya melakukan berbagai pelanggaran.
"Surat telegram tersebut juga akan menjadi preseden buruk, sebab institusi lain akan melakukan hal serupa untuk lari dari pertanggungjawaban hukum," terang dia.
Adapun surat telegram ini bertandatangan dan berstempel Kepala Staf Umum (Kasum) TNI Letnan Jenderal TNI Eko Margiyono tertanggal 5 November 2021.
Jika merujuk tanggal tersebut, surat telegram ini keluar ketika masih di masa Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto.
Setidaknya terdapat empat poin yang diatur dalam surat telegram Panglima TNI ini, meliputi:
1. Pemanggilan yang dilakukan kepada prajurit TNI oleh Polri, KPK, aparat penegak hukum lainnya dalam rangka untuk memberikan keterangan terkait peristiwa hukum harus melalui Komandan/Kepala Satuan.
2. Pemanggilan terhadap prajurit TNI yang tidak sesuai dengan prosedur, agar Komandan/Kepala Satuan berkoordinasi dengan aparat penegak hukum yang dimaksud.
3. Prajurit TNI yang memberikan keterangan terkait peristiwa hukum kepada aparat penegak hukum dapat dilakukan di satuannya dengan didampingi Perwira Hukum atau Perwira Satuan.
4. Prajurit TNI yang memberikan keterangan terkait peristiwa hukum kepada aparat penegak hukum dapat dilakukan di kantor aparat penegak hukum yang memanggilnya dengan didampingi Perwira Hukum.
https://nasional.kompas.com/read/2021/11/25/11215171/kontras-nilai-telegram-panglima-terkait-proses-hukum-anggota-tni