JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim telah menerbitkan peraturan Nomor 30 Tahun 2021.
Peraturan yang terbit pada 31 Agustus itu mengatur tentang pencegahan dan penanganan kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan perguruan tinggi.
Salah satu ketentuan yang diatur dalam peraturan itu yakni terkait ketimpangan relasi kuasa penyebab kekerasan seksual di kampus.
Pasal 1 Permendikbud Ristek 30/2021 menyatakan, kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.
Dalam berbagai penelitian disebutkan, ketimpangan relasi kuasa merupakan penyebab utama terjadinya kasus kekerasan seksual.
Salah satunya hasil penelitian Pusat Pengembangan Sumberdaya untuk Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, Rifka Annisa, pada 2018.
Ketimpangan relasi kuasa terjadi ketika pelaku merasa memiliki posisi yang lebih dominan daripada korban.
Misalnya, kekerasan seksual yang dilakukan dosen terhadap mahasiswa, orangtua terhadap anak, artis dengan fans, bos dengan karyawan, rentenir dengan pengutang, dan sebagainya.
Bahkan, relasi kuasa bisa terjadi antara seseorang dengan orang yang disukai atau dikaguminya, meskipun tak punya hubungan langsung.
Karena itu, berdasarkan penelitian tersebut, kurang tepat jika menyimpulkan bahwa kekerasan seksual terjadi hanya karena soal rendahnya moral atau nafsu birahi.
Juru bicara Rifka Annisa, Defirentia One Muharomah mengatakan, perasaan berkuasa membuat pelaku merasa berhak dan tidak bersalah ketika melakukan kekerasan seksual.
"Banyak kasus pemerkosaan yang pelakunya ayahnya sendiri, teman, pacar, tetangga, guru, dosen, dan orang-orang dekat yang justru dikenal oleh korban," kata Defi, saat diwawancarai pada Kamis (8/11/2018).
Mengutip dari situs Jurnal Perempuan (jurnalperempuan.org), Dewan Redaksi Jurnal Perempuan sekaligus Komisioner Komnas Perempuan Mariana Amiruddin menyatakan, pemerkosaan berkaitan erat dengan kekuasaan.
Hal itu disampaikan Mariana dalam workshop Pencegahan Pelecehan dan Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus yang diselenggarakan Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC) Universitas Indonesia pada 2015.
Dia mengatakan, perkosaan kerap terjadi beriringan dengan kejahatan lain, seperti pencurian dan pembunuhan. Karena itu, perkosaan bukan hanya soal seks tapi kekuasaan.
"Penyebab perkosaan bukan pada pakaian perempuan," tegas Mariana.
Mariana mencontohkan, di lingkungan kampus sering terjadi pelecehan seksual oleh dosen sebagai pihak yang memiliki kuasa terhadap mahasiswa sebagai pihak yang tidak memiliki kuasa.
Ia mengatakan, ketika hal ini terjadi, kebanyakan korban hanya bisa bungkam dan memendam trauma.
Dalam Permendikbud Ristek 30/2021, kekerasan seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, serta melalui teknologi informasi dan komunikasi.
Setidaknya ada 21 bentuk kekerasan seksual yang secara tegas diatur dalam aturan tersebut. Salah satunya, mengatur ketiadaan persetujuan dari korban dalam sehingga suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai kekerasan seksual.
Kemudian, tindakan diskriminasi atau pelecehan yang berintensi seksual, baik melalui ujaran, tatapan, ataupun virtual.
Komnas Perempuan pun mengimbau perguruan tinggi berkomitmen dalam mengimplementasikan Permendikbud 30/2021.
Peraturan itu dipandang sebagai langkah maju untuk mewujudkan lingkungan pendidikan yang aman, sehat, dan nyaman tanpa kekerasan seksual.
“Perguruan Tinggi agar mempunyai komitmen untuk mengimplementasikan Permen PPKS ini dengan mengikuti langkah-langkah yang sudah diatur oleh Permendikbud PPKS,” kata Komisioner Komnas, Siti Aminah Tardi, dalam siaran pers, Rabu (10/11/2021).
https://nasional.kompas.com/read/2021/11/12/07220921/tentang-relasi-kuasa-dalam-kekerasan-seksual-yang-diatur-permendikbud-30