Menurut dia, aspek keadilan dan kesetaraan harus selalu ada dalam proses penerapan kebijakan dan pelayanan publik termasuk kebijakan syarat PCR.
"Kalau dia soal keadilan akses saya harus katakan kebijakan ini diskriminatif," kata Robert dalam diskusi daring, Sabtu (30/10/2021).
Robert mengatajan telah terjadi diskriminasi ganda dalam penerapan penyertaan hasil PCR sebagai syarat perjalanan.
Diskriminasi pertama dalam hal finansial karena orang-orang yang naik pesawat dianggap mampu untuk melakukan tes PCR.
"Jadi ada diskriminasi secara finansial kepada mereka yang tanda kutip kita anggap mampu yang di pesawat," ujarnya.
Sementara bentuk diskriminasi kedua adalah dalam hal keselamatan, karena moda transportasi lain boleh tidak diwajibkan memberikan hasil tes PCR, melainkan antigen.
Sehingga, lanjut Robert, ada kesan pembiaran orang yang menggunakan moda transportasi selain pesawat untuk lebih mudah tertular Covid-19.
"Mungkin secara klinis saya enggak tahu ya apakah secara klinis itu apakah PCR benar lebih menjamin kesehatan dibanding antigen," ucapnya.
"Tapi terlepas dari itu perbedaan kedua ini membuat seolah-olah yang dimobil dan kereta api boleh kemudian rapid antigen mendapatkan risiko penularan yang lebih tinggi kemungkinannya ketimbang yang di pesawat," ucap dia.
Sebelumnya, pemerintah telah mengeluarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) Nomor 55 Tahun 2021 tentang Perubahan Instruksi Mendagri Nomor 53 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Level 3, Level 2, dan Level 1 di Wilayah Jawa dan Bali yang diteken Mendagri Tito Karnavian pada 27 Oktober 2021.
Inmendagri ini menegaskan bahwa syarat tes PCR belum diberlakukan untuk semua moda transportasi sebagaimana yang diwacanakan pemerintah sebelumnya.
Syarat tes PCR ini hanya berlaku untuk perjalanan domestik jarak jauh menggunakan pesawat terbang yang masuk/keluar wilayah Jawa-Bali.
https://nasional.kompas.com/read/2021/10/30/13130071/ombudsman-nilai-penerapan-syarat-pcr-sebagai-syarat-perjalanan-pesawat