Sebab, rencana perubahan aturan itu disebut hanya untuk mengakomodasi pemberian gelar honoris causa bagi Wakil Presiden Ma'ruf Amin dan Menteri BUMN Erick Thohir.
Presidium Aliansi Dosen UNJ Ubedilah Badrun mengatakan, pemberian gelar doktor honoris causa di UNJ didasarkan pada Peraturan Menristekdikti Nomor 42 Tahun 2018, serta Peraturan Rektor Nomor 10 tahun 2019.
"Menurut Statuta UNJ (Permenristek Dikti Nomor 42 tahun 2018) dalam Pasal 22 Ayat 1 bahwa UNJ dapat memberikan gelar kehormatan kepada seseorang yang dianggap berjasa luar biasa bagi kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, kemanusiaan dan peradaban," kata Ubedilah dalam keterangan tertulis, Minggu (17/10/2021).
Selanjutnya, Ayat (3) Statuta UNJ menyebutkan, ketentuan lebih lanjut mengenai gelar kehormatan diatur dengan peraturan rektor setelah mendapat persetujuan senat.
Sementara, menurut Peraturan Rektor Nomor 10 Tahun 2019 tentang Gelar dan Penghargaan, disebutkan dalam Pasal 19 bahwa gelar doktor kehormatan diberikan kepada seseorang yang memiliki jasa dan atau karya luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, sosial, budaya, kemanusiaan dan atau bidang kemasyarakatan.
Kemudian, pada Pasal 21 dikatakan, usul gelar kehormatan diusulkan oleh program studi doktor yang memiliki Akreditasi A.
UNJ selanjutnya membuat Pedoman Pengusulan Jabatan Guru Besar Tetap dan Tidak Tetap Serta Penganugerahan Doktor Kehormatan Tahun 2021.
Dalam buku pedoman itu dikatakan, pemberian gelar doktor kehormatan diberikan kepada seseorang yang memiliki reputasi, jasa, dan prestasi yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, kemasyarakatan, kemanusiaan, keagamaan, dan budaya atau seni yang berdampak pada peningkatan kemuliaan dan martabat kemanusiaan dalam berbagai sektor kehidupan.
"Kemudian dalam persyaratan poin ke-3 disebutkan bahwa pemberian gelar doktor kehormatan tidak diberikan oleh UNJ kepada siapa pun yang sedang menjabat dalam pemerintahan sebagai cara untuk menjaga moral akademik Universitas Negeri Jakarta," ujar Ubedilah.
Berdasarkan aturan-aturan tersebut, kata Ubedilah, pemberian gelar dotor gonoris causa di UNJ setidaknya harus memenuhi tiga hal.
Pertama, diberikan kepada seseorang yang memiliki karya dan jasa luar biada dalam bidang iptek, kemanusiaan, dan peradaban.
Kedua, pengusul harus dari program studi S3 yang terakreditasi A.
Ketiga, gelar doktor kehormatan tidak diberikan kepada seseorang yang sedang menjabat di pemerintahan.
Berdasarkan aturan itu, Erick Thohir yang diusulkan Fakultas Ilmu Olahraga (FIO) UNJ yang memiliki program studi S3 terakreditasi A belum lolos syarat karya luar biasa dan tertolak karena Erick sedang menjabat di pemerintahan.
Erick hanya lolos pada syarat pertama, yaitu diajukan oleh program studi S3 yang terakreditasi A. Sedangkan dua syarat lainya tidak terpenuhi.
Sementara, Ma'ruf Amin diusulkan dari Fakultas Ilmu Sosial (FIS) yang tidak memiliki program studi S3 terakreditasi A, belum lolos syarat karya luar biasa dan tertolak karena ia sedang menjabat di pemerintahan.
Ma'ruf tidak memenuhi ketiga syarat, lantaran fakultas yang mengajukan pemberian gelar tak memiliki program studi S3 terakreditasi A, karya luar biasa belum terpenuhi, dan syarat ketiga tertolak karena sedang menjabat di pemerintahan.
"Karena berdasar aturan tersebut, Erick Thohir dan Ma'ruf Amin tertolak lalu Senat UNJ akan mengubah aturan itu demi memberi gelar kepada kedua pejabat tersebut. Dapat dibenarkankah?," kata Ubedilah.
Hingga saat ini pihak UNJ belum pernah memberikan pernyataan mengenai polemik ini.
Kompas.com masih berupaya mendapatkan tanggapan dari pihak universitas.
https://nasional.kompas.com/read/2021/10/17/11135221/unj-disebut-akan-ubah-aturan-demi-beri-gelar-untuk-maruf-amin-dan-erick