Diketahui ada 101 kepala daerah yang masa jabatannya habis pada 2022 dan 170 kepala daerah akan habis masa jabatannya pada 2023.
Sementara pemilihan kepala daerah atau pilkada serentak baru akan dilaksanakan pada 2024 mendatang.
Melihat wacana tersebut Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tanjung mengatakan tidak ada regulasi yang melarang TNI/Polri untuk menjadi Pj kepala daerah.
"Memang tidak melanggar peraturan perundangan muculnya TNI dan Polri untuk mengisi komposisi jabatan-jabatan itu," kata Doli dalam diskusi daring, Selasa (12/10/2021).
Menurut Doli, ada beberapa hal yang mungkin mendasari mengapa wacana itu muncul.
Salah satunya, menurut dia, tidak cukupnya sumber daya manusia (SDM) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk mengisi posisi tersebut.
"Saya kira kan menjadi 272 itu enggak mudah. Kalau memang selama ini yang diberi tanggungjawab atau leading sektornya Kementerian Dalam Negeri," ujarnya.
"Saya kira Kementerian Dalam Negeri juga tidak mempunyai sumber daya manusia yang begitu banyak sekali untuk ditempatkan ya ke 272 daerah itu. Juga mungkin kebutuhan ASN di tempat yang lain," kata dia.
Politikus Partai Golkar ini juga menilai, siapa pun yang duduk dalam posisi penjabat nantinya harus menjaga netralitas dan independensi.
Sebab, jelang tahun pemilu, tensi politik relatif tinggi lantaran semua pihak berusaha untuk menang.
"Oleh karena itu, kita berharap siapapun itu nanti apakah background-nya ASN, TNI, Polri kita berharap seperti dia independen dan netral," ucap Doli.
Kotak pandora
Di lain sisi, Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, menjadikan anggota TNI/Polri sebagai Pj kepala daerah akan membuka kotak pandora.
"Penjabat kepala daerah TNI/Polri aktif bisa jadi kotak pandora, membuka kotak pandora yang menggoda pada ekses yang lebih luas," kata Titi dalam diskusi daring, Selasa (12/10/2021).
Menurut Perludem, toleransi atas upaya pemberian legitimasi bahwa mereka dianggap cakap, baik dari sisi kompetensi, kapasitas dan profesional seharusnya dapat dihindari.
Sebab, hal itu merupakan bagian dari amanat reformasi, terutama terkait dwifungsi TNI/Polri.
"Bukan kita ingin mendelegitimasi peran TNI/Polri. Peran TNI/Polri sangat legitimate di bidang pertahanan, pengayoman masyarakat dan penegakan hukum," ujar Titi Anggraini.
Politisasi aktor keamanan
Sementara itu, Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Diandra Megaputri Mengko khawatir dengan adanya politisasi aktor keamanan apabila TNI-Polri diangkat menjadi penjabat (Pj) kepala daerah.
Menurut dia, sudah banyak kasus TNI-Polri yang justru melakukan politisasi sebelum menjadi penjabat dalam pemilu.
"Kecenderungan politisasi aktor keamanan. Tanpa menunjuk aktor-aktor keamanan ini sebagai Pj kepala daerah saja, kecenderungan untuk politisasi aktor keamanan ini dalam pemilu sudah cukup tinggi," kata Diandra dalam diskusi daring, Jumat (8/10/2021).
Peristiwa itu, sebut dia, salah satunya terjadi pada 2004. Saat itu, Presiden keenam RI, Susilo Bambang Yudhoyono, kata dia, menyebut ada oknum polisi berpangkat komisaris besar yang meminta keluarga besar Polri untuk tidak memilih SBY.
Berikutnya pada 2014, ada laporan oknum Babinsa yang mengarahkan masyarakat untuk memilih pasangan calon tertentu. Meskipun pada akhirnya, Panglima TNI saat itu, Jenderal (Purn) Moeldoko, menyatakan hal itu tidak terbukti.
Selanjutnya pada 2019, Diandra mengatakan, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memaparkan adanya 1.000 kasus pelanggaran hukum terkait netralitas oknum aparatur sipil negara (ASN) serta TNI-Polri.
Belum bahas
Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Benny Irwan sebelumnya mengatakan, saat ini pihaknya belum membahas mengenai wacana penunjukan perwira TNI-Polri sebagai Pj kepala daerah. Dalam hal ini, khusus sebagai Pj gubernur.
"Hingga saat ini Kemendagri belum membahasnya. Saat ini masih fokus untuk mempersiapkan pelaksanaan Pemilu dan Pilkada 2024," ujar Benny pada 27 September 2021.
https://nasional.kompas.com/read/2021/10/14/10385281/wacana-tni-polri-jadi-penjabat-kepala-daerah-yang-tuai-polemik