Adapun PPHN menjadi tema yang kerap digaungkan oleh Ketua MPR Bambang Soesatyo dalam wacana amendemen UUD 1945.
"Ini kan isunya mas Bambang Soesatyo, nah kita tanya. Kalau elite ditanya, perlu enggak, PPHN? Elite atau pemuka opini menyatakan perlu. Jadi mereka mengatakan memang perlu. Nah, pertanyaannya adalah melalui pintu apa?" kata Direktur Eksekutif Indikator Politik Burhanuddin Muhtadi dalam rilis survei yang disiarkan secara daring, Rabu (13/10/2021).
Berdasarkan hasil survei, elite yang merasa perlu dibuat PPHN mencapai 56,2 persen. Sementara itu, elite yang menjawab tidak perlu sebanyak 42,5 persen.
Adapun elite yang dimaksud dalam survei ini adalah narasumber survei atau responden yang berasal dari sejumlah tokoh di antaranya lembaga swadaya masyarakat (LSM), akademisi, tokoh media massa, pusat studi, dan organisasi masyarakat (ormas).
Survei juga menunjukkan hasil ketika responden ditanya mengenai seperti apa proses penetapan PPHN sebaiknya dilakukan.
"Jawabannya adalah, hampir 70 persen atau 69,6 persen mengatakan bahwa tidak perlu PPHN itu dilakukan melalui amendemen UUD 1945. Ada 37,7 persen yang menjawab cukup melalui undang-undang saja. Ada 31,9 persen yang mengatakan cukup melalui TAP MPR," kata dia.
Sementara itu, 22 persen elite menyatakan PPHN dapat dilakukan melalui amendemen UUD 1945.
Namun, publik justru lebih tinggi yaitu sebesar 34,5 persen yang menjawab PPHN melalui amendemen.
Kendati demikian, Burhanuddin mengungkapkan bahwa publik juga diajukan pertanyaan apakah mereka mengetahui atau pernah mendengar tentang PPHN atau tidak.
"Kepada publik kita tanya, yang tahu PPHN cuma 20 persen. 79,3 persen tidak tahu. Sedikit sekali di kalangan publik, tapi di kalangan elite no debate, mereka pasti tahu," ucap dia.
Atas hasil-hasil itu, Burhanuddin menyimpulkan bahwa secara umum, PPHN dianggap perlu dan tidak harus melalui amendemen UUD 1945.
Kemudian, pada pertanyaan selanjutnya, survei menunjukkan bahwa responden, baik elite maupun publik sepakat menyatakan perumusan PPHN harus mendengar aspirasi warga terlebih dahulu sebelum dibawa ke sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Adapun dari kalangan elite sebesar 86,6 persen menyatakan PPHN harus mendengar aspirasi warga, sedangkan dari publik sebesar 70,7 persen.
"Mayoritas dari dua kelompok populasi yang berbeda. Jadi baik publik maupun pemuka opini, mereka sama, opininya dan pendapatnya. Jadi terjadi konsensus antara kedua sumber populasi yang berbeda," ucap Burhanuddin.
Survei ini memiliki toleransi kesalahan atau margin of error sekitar lebih kurang 2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Survei ini dilakukan dengan menggunakan metode simple random sampling dengan sampel 1.220 responden di seluruh Indonesia.
Survei dilakukan dengan wawancara di lapangan untuk publik pada 2-7 September 2021.
Sementara itu, untuk wawancara kepada elite dilakukan baik tatap muka maupun virtual pada 1-30 September 2021.
Adapun, wacana amendemen UUD 1945 kembali menguat setelah Ketua MPR Bambang Soesatyo mengatakannya dalam Sidang Tahunan MPR, Senin (16/8/2021).
Bambang menyebut amendemen UUD 1945 diperlukan untuk menambah kewenangan MPR untuk menetapkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).
Pria yang akrab disapa Bamsoet itu mengeklaim, amendemen UUD 1945 terkait PPHN tidak akan melebar ke pasal-pasal lainnya.
"Perubahan terbatas tidak memungkinkan untuk membuka kotak pandora, eksesif terhadap perubahan pasal-pasal lainnya," kata Bamsoet dalam Sidang Tahunan MPR, Senin (16/8/2021).
Wacana amendemen ini dikhawatirkan publik melebar ke wacana perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode.
https://nasional.kompas.com/read/2021/10/13/22321641/survei-indikator-mayoritas-masyarakat-perlu-pphn-tetapi-tidak-melalui