JAKARTA, KOMPAS.com - Gerakan Koalisi Penghapusan Kekerasan pada Anak mendorong pemerintah untuk mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak dalam penanganan kasus dugaan kekerasan seksual.
Hal tersebut menyusul adanya kasus dugaan kekerasan seksual pada tiga anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan yang dilakukan ayah kandungnya.
CEO Save The Children Indonesia sekaligus Ketua Koalisi Penghapusan Kekerasan pada Anak di Indonesia (IJF EVAC) Selina Patta Sumbung mengatakan, setiap anak tanpa terkecuali memiliki hak untuk dilindungi dari berbagai bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual.
"Negara, masyarakat, keluarga dan orangtua berkewajiban dan bertangung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak,” ujar Selina, dikutip dari siaran pers, Rabu (13/10/2021).
Menurut Selina, setiap kasus kekerasan pada anak harus ditangani secara komprehensif. Tidak hanya dari aspek hukum, tetapi juga aspek tumbuh kembang seperti fisik, psikologis dan psikososial anak.
"Hal tersebut perlu menjadi prioritas penanganan,” kata dia.
Oleh karena itu, pihaknya bersama Aliansi PKTA (Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak) meminta pemerintah melakukan tindakan yang tepat, antara lain penerapan manajemen kasus dalam proses penanganan.
"Penanganan kasus ini perlu dilakukan oleh pekerja sosial, manajer kasus, pendamping kasus terlatih yang ditunjuk dengan tetap melibatkan profesional atau layanan yang dibutuhkan seperti psikolog, advokat, medis, dan lainnya," kata dia.
Menurut Selina, alur yang dapat dilakukan oleh pendamping kasus di antaranya adalah meminta persetujuan, melakukan assesmen secara menyeluruh, merumuskan rencana pemberian layanan dan tidak membatasi pada pemberian layanan hukum.
Kemudian, memberikan layanan yang dibutuhkan dengan memperhatikan hak anak, tahap perkembangan anak, monitoring dan evaluasi serta terminasi atau pengakhiran kasus apabila hak anak dan kebutuhannya telah terpenuhi.
Hal selanjutnya yang dapat dilakukan adalah meningkatkan kapasitas sumber daya manusia (SDM) penyedia layanan perlindungan anak.
"Peningkatan kapasitas harus terus dilakukan dengan menjadikan hak anak, perlindungan anak, kebijakan keselamatan anak, manajemen kasus, supervisi, dan dukungan psikososial sebagai kompetensi inti atau persyaratan SDM," kata dia.
Selanjutnya adalah pengembangan mekanisme supervisi dalam penanganan kasus yang perlu dilakukan secara berjenjang mulai dari tingkat kabupaten/kota, provinsi hingga nasional untuk memastikan setiap kasus tertangani dengan baik.
Supervisi tersebut harus memberikan fungsi edukasi, dukungan, selain fungsi administratif kepada seluruh SDM penyedia layanan perlindungan anak.
Terakhir adalah penerapan etika dalam penanganan kasus kekerasan terhadap anak.
"Kerahasiaan adalah salah satu prinsip utama dalam menangani kasus kekerasan terhadap anak," kata dia.
Oleh karena itu, pihaknya meminta agar seluruh pihak wajib merahasiakan identitas anak, baik sebagai pelaku tindak pidana, korban maupun saksi dalam pemberitaan di media massa.
Hal tersebut telah diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak serta Peraturan Dewan Pers Nomor 1 Tahun 2019 tentang pedoman pemberitaan ramah anak.
Sebelumnya diberitakan, kasus pemerkosaan 3 anak oleh ayah kandungnya di Luwu Timur yang terjadi pada 2019 kembali mengemuka. Berdasarkan laporan Project Multatuli, penanganan kasus tersebut dihentikan polisi.
Artikel tersebut mengungkapkan kasus seorang ibu bernama Lydia (nama samaran) yang melaporkan dugaan pemerkosaan terhadap tiga anak kandungnya.
Kekerasan seksual itu diduga dilakukan mantan suaminya pada 2019.
Lydia mengaku saat itu telah melaporkan perkara tersebut ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Luwu Timur, serta Polres Luwu Timur.
Namun, menurut Lydia, ia tidak mendapatkan keadilan dari dua instansi tersebut dan malah disebut mengidap gangguan kesehatan mental.
Pada 10 Desember 2019, Polres Luwu Timur menghentikan proses penyidikan. Mantan suami Lydia disebut merupakan aparatur sipil negara (ASN) di kantor pemerintahan Luwu Timur.
Belakangan, Polres Luwu Timur sempat membantah dan menyatakan bahwa artikel tersebut hoaks.
Namun, label hoaks itu kemudian mendapat kecaman dari insan pers, salah satunya disampaikan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
https://nasional.kompas.com/read/2021/10/13/14012861/pemerintah-diminta-utamakan-kepentingan-anak-dalam-penanganan-kasus