Salin Artikel

Darurat Kekerasan Seksual!

INDONESIA darurat kekerasan seksual terhadap anak-anak dan perempuan. Satu terbejat adalah kasus ayah kandung menghamili anak perempuannya sendiri yang berusia 15 tahun.

Kejadian ini terjadi di Tidore Kepulauan, Maluku Utara (news.malutpost.id, 1 Oktober 2021). Tak hanya itu, kekerasan seksual juga menjalar ke ruang universitas dan institusi negara.

Kasus seorang mahasiswi di salah satu universitas yang dilecehkan oknum dosen saat melakukan bimbingan skripsi (Kompas.com, 1 Oktober 2021).

Kasus Blessmiyanda, mantan Kepala Badan Pengayaan Pengadaan Barang dan Jasa (BPPBJ) DKI Jakarta yang melakukan pelecehan seksual terhadap salah seorang staf (Kompas.com, 1 Oktober 2021). Bahkan tiga kasus ini tak cukup mewakili rentetan panjang kasus lainnya.

Value Champion, lembaga riset yang berbasis di Singapura, menobatkan Indonesia sebagai negara paling berbahaya kedua bagi perempuan di Kawasan Asia Pasifik (Tempo.co, 8 Maret 2019).

Ini linier dengan data kekerasan seksual versi Komnas Perempuan. Dari tahun ke tahun trennya meningkat.

Pada 2018 terdapat 406.178 kasus dan pada 2019 431.471 kasus (Tempo.co, 6 Maret 2020). Masa pandemi kabarnya semakin parah. Kementerian PPPA melansir bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan mencapai angka tertinggi pada masa pandemi (Okezone.com, 09 Juli 2021).

Indonesia bebas kekerasan seksual tampaknya masih sebatas mimpi di siang bolong. Di ruang-ruang yang harusnya bebas dari kekerasan seksual pun—ruang privat, universitas, dan institusi negara—faktanya justru turut memproduksi kasus.

Ini sangat mengkhawatirkan. Aspek kultural dan aspek struktural diindikasi sebagai faktor penyebab. Keduanya tak jarang menjadi landasan kita dalam berperilaku dan bermasyarakat, termasuk dalam kasus kekerasan seksual.

Patriarki: Melanggengkan Kekerasan Seksual

Aspek kultural turut menopang terjadinya kekerasan seksual, tepatnya budaya patriarki. Whisnant (2007) berpandangan bahwa perampasan kedaulatan tubuh perempuan, khususnya kontrol laki-laki atas penggunaan tubuh perempuan secara seksual dan reproduktif, sebagai elemen penentu utama patriarki (dalam Feminist Perspective on Rape, 2017).

Poin utama dalam cara pandang patriarki adalah adanya ketimpangan relasi antara perempuan dan laki-laki. Biasanya posisi perempuan selalu subordinat dan laki-laki dalam status yang dominan.

Ini kemudian menjadi narasi yang terkonstruksi sampai sekarang: laki-laki menguasai dan perempuan dikuasai. Ujungnya, tentu merugikan perempuan yang selalu dipandang sebagai objek untuk melakukan kekerasan seksual.

Cara pandang ini dimanfaatkan laki-laki dalam bentuk relasi ayah-anak, dosen-mahasiswa, pemberi kerja-penerima kerja, dan lainnya. Ini diperparah dengan adanya relasi kuasa.

Relasi secara budaya sudah timpang, ditambah lagi dengan relasi kuasa. Terlebih, jika laki-laki berada di posisi atau pekerjaan yang lebih tinggi dibanding perempuan.

Superpower semakin tak terelakkan dan merasa diri benar berada di posisi mengontrol. Jika perempuan melawan, fatal, nasibnya ke depan menjadi taruhan. Akibatnya posisi perempuan semakin tersudut.

Aspek Struktural, Penopang Kekerasan Seksual

Selain itu, berkaca pada banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi, bahkan pada institusi-institusi resmi, seperti di universitas dan instansi pemerintahan, patut dicurigai bahwa aspek struktural di level negara lemah dan tidak tegas terhadap pelaku kekerasan seksual.

Longgarnya celah regulasi sama dengan “lampu hijau” bagi pelaku untuk memuluskan niat bejatnya. Celahnya bisa jadi karena belum ada sanksi yang dibuat serta dijalankan secara tegas dan jelas atas pelanggaran profesionalisme kerja dan kode etik profesi.

Apalagi, jika pengawasan juga rendah, baik secara regulasi maupun teknologi (seperti kamera awas), juga kontrol profesional sesama rekan kerja.

Kurang dipahaminya garis batas yang jelas mengenai relasi struktural adalah kendala lain. Garis batas yang kabur menyebabkan hal apa yang boleh dilakukan dan tidak dilakukan dalam jenjang struktural tersebut menjadi abu-abu.

Tidak ada pemahaman yang jelas dalam hal ini berpotensi terjadi penyalahgunaan wewenang. Atau adanya kesengajaan dalam memanfaatkan relasi struktural ini. Jika sudah begini, tentu mereka yang wewenangnya rendah akan dimanfaatkan dan menjadi korban atas mereka yang memiliki wewenang tinggi.

Persoalan yang menjadi hulu adalah belum masifnya pemerintah mengimplementasikan kebijakan preventif, seperti penyuluhan hukum mengenai kekerasan seksual kepada masyarakat. Masyarakat harus paham sanksi yang siap menjerat bagi para terdakwa.

Belajar dari kasus kekerasan seksual terhadap anak, juga yang penting adalah pendidikan seksualitas sejak dini. Setiap anak tentu perlu mengetahui bagian privasinya dan dampak jika dimanfaatkan atau dipaksa dimanfaatkan secara tidak bertanggung jawab.

Pada ruang lingkup yang lebih luas, negara perlu dan harus segera mengatur secara rinci tentang regulasi payung atas kekerasan seksual. Tiadanya sistem pemidanaan dan penindakan yang jelas menyebabkan pelaku dengan mudahnya lolos dari jeratan hukum.

Paling banter, ujung kasusnya diselesaikan secara kekeluargaan. Sebabnya, sistem hukum kita selama ini memang hanya mengenal beberapa saja dari banyaknya jenis tindak pidana kekerasan seksual.

Di KUHP terbatas pada pemerkosaan, pelecehan, dan pencabulan. Itu pun baru bisa diproses jika sudah ada penetrasi dari penis ke vagina. Padahal, kekerasan seksual tidak sebatas berbentuk fisik atau penetrasi kelamin, melainkan ada yang menggunakan alat dan lainnya.

Belum lagi, syarat bukti kerap memberatkan korban. Ini menjadi angin segar bagi pelaku. Wajar jika mereka “menyepelekan” hal ini karena merasa “didukung” dengan bentuk hukum atas kekerasan seksual yang belum jelas dan lemah.

Indonesia juga belum berkomitmen mengimplementasikan The Convention on Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW), yakni perjanjian HAM internasional yang mengatur penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak perempuan.

Di dalamnya termasuk hak bebas dari kekerasan seksual. Padahal, Indonesia sudah meratifikasi konvensi ini sejak 1984 silam.

Menekan Kekerasan Seksual

Aspek kultural dan struktural ini perlu diubah. Jika tidak, konsekuensinya, kita akan dihadapkan dari satu kasus kekerasan seksual ke kasus lainnya yang potensial terus meningkat.

Bahkan, mungkin terjadi di lingkungan dan orang terdekat kita. Sangat berbahaya jika ruang-ruang privat—maupun ruang publik—tidak lagi aman bagi anak-anak dan perempuan.

Rem darurat harus segera ditarik. Secara kultural, cara pandang patriarki harus dikoreksi, direkonstruksi dan dinarasi ulang. Budaya dan pola pikir lebih terbuka dan adil harus terus ditumbuhkembangkan dalam kehidupan bermasyarakat kita.

Hubungan perempuan dan laki-laki adalah setara, tidak dibenarkan ada dominasi satu atas lainnya. Relasi keduanya adalah sama dalam mengakses hak, termasuk hak serta otoritas atas tubuh, tak terkecuali seorang anak.

Tak dibenarkan ayah kandung sekalipun merasa berhak memanfaatkan tubuh sang anak. Seorang anak berhak dan memiliki otoritas penuh atas tubuhnya.Tak seorang pun boleh menyentuh tubuhnya tanpa seizin darinya, termasuk oleh orangtuanya sekalipun.

Penghormatan atas tubuh individu ini perlu menjadi pakem setiap orang dalam kehidupan bermasyarakat.

Peningkatan kesadaran kolektif warga pada penghormatan terhadap atas hak tubuh kepada masyarakat, termasuk pendidikan seksualitas sejak dini, menjadi mendesak dilakukan sebagai langkah preventif guna menekan potensi kekerasan seksual.

Sisi lain, secara struktural universitas dan institusi negara mesti melakukan pembenahan diri. Profesionalisme kerja dan kode etik perlu lebih ditekankan dan dijalankan secara konsekuen, termasuk lini pengawasan yang lebih komprehensif.

Tak kalah mendesak adalah pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Ini bisa menjadi bentuk konkrit tindakan negara atau pemerintah untuk menghadirkan payung hukum yang jelas—mengakomodasi perlindungan terhadap korban dan sanksi yang jelas terhadap pelaku.

Sekaligus sebagai bukti komitmen pengimplementasian CEDAW. Pada Draf RUU ini, setidaknya telah mengatur definisi dan sembilan (9) jenis tindak pidana kekerasan seksual secara lebih luas, guna menjangkau para pelaku yang selama ini lolos hukum hanya karena tindakan mereka tidak memenuhi unsur legalitas sebagai tindak pidana (Amnesty International, 2020).

Tarik ulur atas RUU PKS ini harus segera disudahi. Perdebatan definisi memang penting, tetapi masih banyak substansi lainnya atas RUU ini yang juga harus dikaji dan segera disahkan agar menjadi solusi atas kekosongan hukum yang selama ini berjalan.

Sudahi darurat kekerasan seksual terhadap anak-anak dan perempuan di Indonesia. Kasusnya tidak boleh dibiarkan melaju lesat, termasuk di ruang privat, universitas, dan institusi negara. Setiap lini harus menjalankan perannya dalam menghadirkan perlindungan bagi anak-anak dan perempuan.

Keadilan patut ditegakkan dengan cara menghukum pelaku dan memulihkan korban, melalui kepastian hukum. Mari ciptakan lingkungan yang ramah, aman, dan nyaman serta bebas dari ancaman kekerasan seksual. (*R Graal Taliawo, Alumni S2 Sosiologi & Mahasiswa S3 Ilmu Politik, Fisip UI, Depok)

 

https://nasional.kompas.com/read/2021/10/11/05580251/darurat-kekerasan-seksual

Terkini Lainnya

Golkar: Belum Ada Pernyataan Resmi Pak Jokowi Keluar dari PDI-P, Kami Enggak Mau 'Ge-er'

Golkar: Belum Ada Pernyataan Resmi Pak Jokowi Keluar dari PDI-P, Kami Enggak Mau "Ge-er"

Nasional
Politeknik KP Sidoarjo Buka Pendaftaran, Kuota Masyarakat Umum 80 Persen

Politeknik KP Sidoarjo Buka Pendaftaran, Kuota Masyarakat Umum 80 Persen

Nasional
Surya Paloh: Nasdem Dukung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Surya Paloh: Nasdem Dukung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Nasional
Kenaikan Pangkat TNI: 8 Perwira Pecah Bintang, Kabais Resmi Berpangkat Letjen

Kenaikan Pangkat TNI: 8 Perwira Pecah Bintang, Kabais Resmi Berpangkat Letjen

Nasional
JK Nilai Konflik Papua terjadi karena Pemerintah Dianggap Ingin 'Merampok'

JK Nilai Konflik Papua terjadi karena Pemerintah Dianggap Ingin "Merampok"

Nasional
Biasa Koordinasi dengan PPATK, Dewas Nilai Laporan Wakil Ketua KPK Aneh

Biasa Koordinasi dengan PPATK, Dewas Nilai Laporan Wakil Ketua KPK Aneh

Nasional
Kementerian KP Luncurkan Pilot Project Budi Daya Udang Tradisional Plus di Sulsel

Kementerian KP Luncurkan Pilot Project Budi Daya Udang Tradisional Plus di Sulsel

Nasional
Soal PDI-P Tak Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran, Djarot Bilang Tidak Tahu

Soal PDI-P Tak Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran, Djarot Bilang Tidak Tahu

Nasional
Rencana Revisi, DPR Ingin Sirekap dan Digitalisasi Pemilu Diatur UU

Rencana Revisi, DPR Ingin Sirekap dan Digitalisasi Pemilu Diatur UU

Nasional
BKKBN Minta Bocah 7 Tahun Sudah Tunangan Tak Dianggap Biasa

BKKBN Minta Bocah 7 Tahun Sudah Tunangan Tak Dianggap Biasa

Nasional
Terungkap di Sidang, Biaya Ultah Cucu SYL Di-“reimburse” ke Kementan

Terungkap di Sidang, Biaya Ultah Cucu SYL Di-“reimburse” ke Kementan

Nasional
Tanggapi Jokowi, Djarot PDI-P: Konstitusi Dilanggar dan Direkayasa, Kekaderannya Patut Diragukan

Tanggapi Jokowi, Djarot PDI-P: Konstitusi Dilanggar dan Direkayasa, Kekaderannya Patut Diragukan

Nasional
Polri Akan Gelar Operasi Puri Agung 2024, Kawal World Water Forum Ke-10 di Bali

Polri Akan Gelar Operasi Puri Agung 2024, Kawal World Water Forum Ke-10 di Bali

Nasional
Prabowo Guncangkan Badan Surya Paloh, Sama seperti Anies Kemarin

Prabowo Guncangkan Badan Surya Paloh, Sama seperti Anies Kemarin

Nasional
Kasus Dana PEN, Eks Bupati Muna Divonis 3 Tahun Bui

Kasus Dana PEN, Eks Bupati Muna Divonis 3 Tahun Bui

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke