JAKARTA, KOMPAS.com - Hari ini tepat 22 tahun Tragedi Semanggi II terjadi. Peristiwa Semanggi II menjadi salah satu peristiwa kelam pelanggaran HAM yang terjadi pada 24 September 1999, ketika mahasiswa berdemonstrasi dan dibubarkan paksa oleh aparat.
Peristiwa ini bermula dari keputusan DPR mengesahkan Undang-undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB).
Beberapa saat setelah DPR menyetujui RUU PKB, ribuan mahasiswa, buruh, aktivis partai politik, lembaga non-pemerintah dan profesi serentak menuju Senayan. Mereka menuntut pembatalan UU PKB tersebut.
Tekanan demonstran yang begitu tinggi dan sengit untuk menolak RUU itu mengakibatkan bentrokan berdarah. Puluhan mahasiswa terluka akibat tembakan, injakan, pukulan dan gas air mata.
Itu bukan demonstrasi pertama, tetapi puncak dari serangkaian demonstrasi mahasiswa menentang pengesahan RUU PKB sejak awal September.
Unjuk rasa bukan hanya di Jakarta, tetapi terjadi juga di beberapa daerah seperti Lampung, Medan dan beberapa kota lainnya.
Korban akibat Tragedi Semanggi
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS menyebut sebanyak 11 warga sipil tewas dan 217 lainnya luka-luka akibat tragedi tersebut.
Salah satu warga sipil yang tewas dalam peristiwa tersebut merupakan mahasiswa Universitas Indonesia bernama Yap Yun Hap. Ia meninggal akibat tertembak.
Jenazah Yun Hap ketika ditemukan rekan-rekannya sudah berada di kamar jenazah Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada 25 September 1999 pukul 03.00 dini hari dengan lubang tembakan di punggung kiri atas.
Dari hasil pemeriksaan forensik, disebutkan bahwa Yun Hap meninggal akibat tembakan dengan menggunakan peluru tajam.
Yun Hap sempat terpisah dari rekan-rekannya ketika aparat membubarkan massa yang berdemonstrasi di kawasan Semanggi.
Untuk mengungkap kasus itu, dibentuk Tim Pencara Fakta Independen (TPFI) yang terdiri dari sejumlah pakar dari berbagai bidang keilmuan.
Harian Kompas, 28 September 1999 memberitakan, TPFI menemukan ada dua kelompok prajurit yang melakukan penembakan brutal kepada massa di sekitar Jalan Jenderal Sudirman. Temuan itu berdasakan hasil rekonstruksi.
Sekretaris TPFI Dr Ir Dadan Umar Daihani mengatakan temuan itu berdasarkan hasil rekonstruksi.
Sekitar pukul 20.30 terdengar tembakan dari jauh dan kemudian terlihat iring-iringan mobil yang mengangkut tentara.
Mereka disebut TPFI sebagai kelompok tembak satu. Sekitar pukul 20.35 suara tembakan makin gencar dan makin dekat.
Mahasiswa dan penduduk mulai berlarian, dan beberapa saat kemudian terlihat iring-iringan tujuh atau delapan truk mengangkut prajurit yang tergabung dalam kelompok tembak pertama di bawah jembatan layang Karet-Sudirman.
Dadan menambahkan, sekitar pukul 20.40, tembakan membabi buta sudah makin dekat. Di saat-saat inilah Yun Hap tertembak, ketika tengah berjalan cepat sambil menunduk, sekitar satu meter menuju jalan masuk ke Rumah Sakit Jakarta.
"Ternyata jam 20.55 ada kelompok tembak (klotem) kedua, dan ada korban tembak berikutnya, Jumadi dan satu pemuda," kata Dadan.
Sementara itu, anggota TPFI Dr Tamrin Amal Tomagola mengatakan, penembakan aparat keamanan pada Tragedi Semanggi II bisa disebut by design. Sebab, sejak lengsernya Soeharto sampai saat itu ada bingkai besar, yaitu kegamangan militer tentang posisi mereka di era reformasi.
Meski TPFI atas peristiwa tersebut telah melakukan berbagai pelaporan temuan, hingga kini belum ada kejelasan hukum pelaku penembakan.
Berbagai tantangan terus dihadapi keluarga korban dalam merengkuh keadilan. Salah satunya adalah pernyataan Pansus (Panitia Khusus) DPR RI yang menyatakan kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi I (TSS) bukan pelanggaran HAM berat dalam sidang DPR RI tahun 2001.
Selain itu, sampai hari ini Kejaksaan Agung masih belum melanjutkan proses hukum atas hasil penyelidikan Komnas HAM.
Alih-alih mengalami kejelasan perkembangan kasus, pada 16 Januari 2020 Jaksa Agung ST Burhanuddin dalam rapat kerja bersama komisi III DPR juga menyatakan bahwa Tragedi Semanggi I dan II bukan merupakan kasus pelanggaran HAM Berat.
Pernyataan itu disampaikannya merujuk kepada hasil rapat paripurna DPR RI yang menyebut bahwa kedua peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat.
Keluarga korban kemudian menggugat pernyataan Burhanuddin tersebut sebagai tindakan melawan hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Dalam keputusannya majelis hakim PTUN mengabulkan gugatan keluarga korban dan menyatakan bahwa pernyataan Burhanuddin dianggap perbuatan melawan hukum.
Dalam putusan tersebut, Burhanuddin diwajibkan membuat pernyataan terkait penanganan kasus Semanggi I dan II sesuai keadaan sebenarnya dalam rapat dengan komisi III DPR berikutnya.
Burhanuddin kemudian mengajukan banding atas putusan tersebut ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN).
Pada perjalanannya, permohonan banding Burhanuddin diterima, dan majelis hakim PTTUN membatalkan keputusan PTUN Jakarta.
Dasar keputusan majelis hakim PTTUN Jakarta membatalkan putusan PTUN Jakarta, karena PTUN Jakarta dinilai belum berwenang memutus perkara gugatan yang diajukan oleh keluarga korban Semanggi I dan II.
https://nasional.kompas.com/read/2021/09/24/13142061/kilas-balik-22-tahun-tragedi-semanggi-ii