Pasalnya, di Indonesia, suntikan vaksin Covid-19 belum mencapai herd immunity, bahkan belum mencapai 20 persen target masyarakat yang divaksinasi dosis lengkap.
Namun, pemerintah sudah mengambil ancang-ancang untuk membuat program booster berbayar.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sebelumnya mengatakan, vaksinasi dosis ketiga untuk masyarakat dapat dilakukan apabila program vaksinasi yang sedang berjalan dapat diselesaikan pada Januari 2022.
Pemerintah hanya menanggung biaya vaksin dosis ketiga bagi masyarakat tidak mampu dalam program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
"Diskusi dengan Bapak Presiden (Presiden Joko Widodo), sudah diputuskan oleh beliau bahwa ke depan kemungkinan yang dibayari negara hanya Penerima Bantuan Iuran (PBI) saja," kata Budi dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR, Rabu (25/8/2021), dikutip dari Kontan.co.id.
Senada dengan Budi, Pelaksanaan Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes Maxi Rein Rondonuwu mengatakan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) belum menyarankan vaksinasi dosis ketiga.
Sebab, distribusi vaksin Covid-19 di dunia hingga saat ini belum merata dan rata-rata vaksinasi di dunia belum mencapai 10 persen.
"Tapi, bukan soal tidak boleh secara medis, tetapi secara kesetaraan itu masih banyak masyarakat dunia yang belum divaksin," ujar Maxi dalam diskusi secara virtual melalui kanal YouTube FMB9ID, Selasa (7/9/2021).
Lantas, benarkah vaksin booster diperlukan?
Tak etis vaksin diperjualbelikan
Anggota Ombudsman RI Indraza Marzuki Rais mengatakan, praktik vaksinasi berbayar tidak etis dilakukan selama kekebalan kelompok atau herd immunity belum tercapai.
"Sepanjang belum terjadinya kekebalan komunal dan juga akses vaksinasi masih sulit didapatkan masyarakat, maka itu sudah tidak etis dan tidak adil bahwa masyarakat harus membeli vaksin," kata Indraza dalam diskusi secara virtual, Rabu (8/9/2021).
Indraza mengatakan, praktik jual beli vaksin Covid-19 untuk vaksinasi dosis ketiga juga mulai terjadi di DKI Jakarta.
Oleh karenanya, ia meminta Kemenkes untuk melakukan pengawasan lebih ketat terhadap fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes).
"Walaupun Jakarta sudah 100 persen, daerah lain masih ada yang di bawah 10 persen dan itu membutuhkan vaksin," ujarnya.
Selain itu, Indraza menyesalkan tindakan Gubernur Kalimantan Timur Isran Noor yang mencontohkan hal yang tidak pantas saat mengaku sudah mendapatkan booster atau vaksin dosis ketiga.
Padahal, saat ini, vaksinasi dosis ketiga hanya diprioritaskan untuk tenaga kesehatan karena menjadi kelompok yang paling berisiko terpapar Covid-19.
"Gubernur Kaltim ya dengan bangganya menyebutkan (dapat booster vaksin), itu tidak pantas, pemerintah daerah mencontohkan ketidakpantasan ke masyarakat itu harus kita kritik dan kita dorong jangan ada lagi yang seperti itu," ucapnya.
Senanda dengan Indraza, Co-Inisiator LaporCovid-19 Ahmad Arif mengatakan, selama pandemi Covid-19 masih melanda Tanah Air, pelaksanaan vaksinasi berbayar sangat tidak etis.
Sebab, pandemi Covid-19 merupakan kondisi darurat.
"Kalau dilepaskan ke pasar maka yang bisa mengakses dan membeli adalah orang-orang yang memiliki power, uang, dan seterusnya," kata Arif.
Sikap WHO
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus sebagaimana diberitakan Reuters, Rabu (25/8/2021), mengatakan, data tentang manfaat dan keamanan suntikan booster vaksin Covid-19 masih belum meyakinkan.
Hal tersebut menjadi salah satu pertimbangan WHO untuk meminta agar negara di dunia menunda suntikan booster vaksin Covid-19.
"Ketika beberapa negara mampu untuk memiliki booster dan yang lain bahkan tidak memvaksinasi putaran pertama dan kedua, itu adalah masalah moral," katanya.
Melansir laman resmi WHO, (10/8/2012), beberapa hal perlu dipertimbangkan dari suntikan booster vaksin Covid-19, antara lain:
• Menurunnya kekebalan
Kekebalan dan durasi perlindungan masih belum ditetapkan hingga saat ini.
Menurut studi, belum jelas apakah penurunan titer berkaitan dengan penurunan efektivitas vaksin, terutama terhadap varian corona yang jadi perhatian (variant of concern/VOC).
Sementara data tentang imunogenisitas beberapa vaksin menunjukkan bahwa antibodi bertahan setidaknya selama 6 bulan. Meski demikian, perlindungan terhadap keparahan penyakit masih tetap ada.
• Efektivitas vaksin
Data yang ada saat ini belum cukup untuk memutuskan apakah ada penurunan yang signifikan terkait efektivitas vaksin terhadap segala bentuk penyakit klinis dari infeksi SARS-CoV-2 setelah 6 bulan setelah vaksinasi.
Meski ada laporan kasus pada orang yang sudah divaksin (infeksi terobosan), tetapi sebagian besar kasus tidak separah orang yang tidak divaksinasi.
• Pasokan vaksin global serta pemerataan global dan nasional
Keputusan kebijakan program vaksinasi nasional untuk menambahkan dosis booster harus mempertimbangkan kekuatan bukti mengenai perlunya dosis ini dan ketersediaan vaksin secara global.
Menawarkan dosis booster untuk sebagian besar populasi ketika banyak yang belum menerima dosis pertama, bisa merusak prinsip kesetaraan nasional dan global.
• Bukti yang diperlukan
Lebih lanjut, WHO menjelaskan pemakaian dosis booster harus didukung oleh bukti terkait berkurangnya efektivitas vaksin.
Bukti tersebut khususnya penurunan perlindungan terhadap penyakit parah pada populasi umum atau populasi berisiko tinggi, atau karena varian yang beredar.
Sampai saat ini, bukti masih terbatas dan tidak meyakinkan pada kebutuhan luas untuk dosis booster.
WHO secara hati-hati memantau situasi dan akan terus bekerja sama dengan negara-negara untuk mendapatkan data yang diperlukan untuk rekomendasi kebijakan.
https://nasional.kompas.com/read/2021/09/09/06324101/wacana-vaksin-booster-berbayar-apakah-perlu-dan-etis