Dalam keterangan tertulis yang dibuat oleh Komisioner Komnas HAM Hariansyah Akhmad, Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Livia Iskandar, dan Komisioner Komnas Perempuan Theresia Sri Endras, pembela HAM masih sering mendapatkan ancaman atas kegiatan yang dilakukannya.
Berbagai ancaman, perundungan, hingga kekerasan dialami para pembela HAM khususnya perempuan.
“Mereka kerap mengalami pelanggaran, ancaman atau serangan yang menyasar tubuh atau identitas perempuannya,” ucap Hariansyah dalam keterangan Selasa (7/9/2021).
Hariansyah menyebut, serangan itu dilakukan untuk membungkam gerakan yang dilakukan para pembela HAM dan komunitas tempatnya bernaung.
Bentuk serangan itu kerap dilakukan sampai menggunakan proses hukum dan administrasi yang tidak sah.
“Atau penyalahgunaan kewenangan administratif atau peradilan dalam bentuk lainnya, termasuk penerapan perundang-undangan secara sewenang-wenang dengan tujuan atau dampak untuk menghalangi atau menstigmatisasi kerja pembela HAM,” ujar dia.
Menurut Hariansyah, berdasarkan data Komnas Perempuan, terdapat 87 kasus kekerasan dan serangan yang dialami oleh perempuan pembela HAM dalam kurun waktu 2015 hingga 2021.
Hariansyah memaparkan kasus kekerasan dan serangan itu banyak terjadi di DKI Jakarta dengan 33 kasus, Jawa Timur 9 kasus, kemudian Maluku dan Aceh masing-masing 7 kasus.
“Bahkan di tahun 2020 Komnas Perempuan mencatat terjadi peningkatan kasus serangan dan kekerasan terhadap perempuan pembela HAM mencapai 36 kasus. Padahal di tahun 2019 hanya ada 5 kasus,” kata dia.
Biasanya, kata Hariansyah, para perempuan pembela HAM mengalami kekerasan karena membela kasus-kasus seperti isu sumber daya alam atau agraria, dan isu buruh, termasuk buruh migran.
Ia juga mengatakan, ada lima pemicu serangan dan kekerasan yang dialami para perempuan pembela HAM.
Pertama, kuatnya budaya patriarki yang sering menyalahkan korban. Kedua, meningkatnya pembangunan yang minim perspektif hak asasi.
“Ketiga, munculnya bermacam kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang mendorong eksploitasi sumber daya alam. Empat, kepemilihan lahan yang semakin terkonsentrasi dan akumulasi kepemilikan lahan pada seklompok orang,” papar dia.
Kelima, penyelesaian konfik agrarian melalui pendekatan keamanan yang berujung pada kriminalisasi pada perempuan pembela HAM.
“Selain itu kekerasan dan ancaman juga dialami oleh mereka yang mengadvokasi isu keragaman gender dan seksual karena dianggap melawan nilai agama dan budaya,” ucap dia.
Adapun hari ini merupakan hari peringatan 17 tahun kematian aktivis HAM Munir Said Thalib.
Munir meninggal dalam pesawat Garuda Indoenesia pada 7 September 2004 dalam perjalanan dari Jakarta menuju Belanda.
Banyak pihak menilai kematian Munir masih menyisakan kejanggalan karena auktor intelektualis dalam kasus itu belum diadili.
Dalam perkara ini, Pollycarpus Budihari Priyanto telah dinyatakan sebagai pihak yang melakukan pembunuhan pada Munir.
Ia kemudian divonis 14 tahun penjara sebelum akhirnya bebas pada 29 Agustus 2018. Namun, pada 17 Oktober 2020, Pollycarpus meninggal akibat corona.
Komnas HAM telah mengirimkan surat pada Presiden Joko Widodo agar serius dalam mengungkapkan kasus kematian Munir.
Komisioner Komnas HAM Amiruddin dihubungi Kompas.com, Selasa, mengungkapkan bahwa penyelesaian kasus kematian Munir dapat menjadi simbol bahwa negara memperhatikan persoalan hak asasi manusia.
Namun, jika tidak diselesaikan, Amiruddin melanjutkan, hal itu akan menjadi catatan buruk negara di bidang politik, hukum, dan HAM.
https://nasional.kompas.com/read/2021/09/07/17285041/komnas-ham-kondisi-perempuan-pembela-ham-masih-memprihatinkan