Menurut Suparji, alasan tersebut mengundang polemik karena terpengaruh opini publik yang mencaci maki Juliari akibat tindakan korupsi yang dilakukannya.
"Jadi ini adalah suatu pertimbangan yang agak susah dipertanggungjawabkan dalam konteks hukum karena bisa mendistorsi tentang makna independensi hakim," ujar Suparji kepada Kompas.com, Selasa (24/8/2021).
Suparji menilai, alasan hakim tersebut dapat memicu ketimpangan terhadap perkara-perkara sebelumnya.
Menurutnya, aksi bullying ini juga telah terjadi pada terdakwa sebelumnya.
Hanya saja, dalam vonisnya, terdakwa tersebut tidak mendapatkan satu pun pertimbangan yang meringankan akibat adanya cacian publik.
"Ini bisa menjadi suatu disparitas terhadap putusan-putusan sebelumnya kalau dibanding perkara-perkara lain, jelas bully itu sangat masif dan itu tidak menjadi pertimbangan," kata Suparji.
Di samping itu, Suparji mengkhawatirkan, alasan hakim meringankan vonis Juliari berpotensi terjadinya satu fenomena 'cipta kondisi' demi mendapatkan keringanan.
Misalnya, fenomena itu sengaja diciptakan dengan munculnya opini publik terhadap suatu perkara.
Hal ini dilakukan semata-mata agar mengundang simpati hakim dalam memberikan pertimbangan yang meringankan.
"Dan ini bisa merepotkan di masa yang datang dalam rangka untuk memperoleh keringanan, dia melakukan cipta kondisi itu," kata dia.
Sebelumnya, Ketua majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Muhammad Damis menilai Juliari sudah cukup menderita akibat cacian dan hinaan masyarakat.
Hal itu disampaikannya saat membacakan hal-hal yang meringankan vonis Juliari.
Alasan ini juga merupakan satu di antara tiga hal yang meringankan vonis Juliari dalam kasus Bansos Covid-19.
"Kedua, terdakwa sudah cukup menderita dicerca, dimaki, dihina oleh masyarakat," tutur hakim Damis, Senin (23/8/2021) di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Dalam perkara ini, majelis hakim menilai Juliari terbukti melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dan berlanjut sesuai dakwaan alternatif jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ia dinilai melanggar Pasal 12 huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Juliari disebut terbukti melakukan korupsi pengadaan paket bantuan sosial penanganan Covid-19 wilayah Jabodetabek tahun 2020 senilai Rp 32,48 miliar.
Atas perbuatannya majelis hakim menjatuhkan vonis penjara 12 tahun dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Selain itu Juliari juga dikenai pidana pengganti sebesar Rp 14,59 miliar serta hak politiknya dicabut selama 4 tahun.
https://nasional.kompas.com/read/2021/08/24/10341891/cacian-jadi-hal-meringankan-vonis-juliari-dinilai-biaskan-independensi-hakim