JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua MPR Bambang Soesatyo menilai bahwa Konstitusi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 bukan merupakan Kitab Suci.
Oleh karena itu, menurut Bambang, jika ada kehendak untuk melakukan penyempurnaan atau amendemen UUD 1945, maka tidak boleh dianggap tabu.
"Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memang bukanlah kitab suci, karenanya tidak boleh dianggap tabu jika ada kehendak untuk melakukan penyempurnaan," kata Bambang dalam acara peringatan Hari Konstitusi dan Hari Ulang Tahun ke-76 MPR yang dipantau secara daring, Rabu (18/8/2021).
Pria yang akrab disapa Bamsoet itu melanjutkan, konstitusi secara alamiah akan terus berkembang sesuai dengan dinamika dan kebutuhan masyarakatnya. Ia pun mengingatkan bahwa pada masa sebelum reformasi, UUD 1945 sangat dimuliakan secara berlebihan.
"Pemuliaan itu, terlihat dari tekad MPR untuk melaksanakannya secara murni dan konsekuen, dan tidak berkehendak untuk melakukan perubahan," ujarnya.
Bahkan, jika ada yang hendak ingin mengubah UUD 1945, maka harus melalui referendum. Hal itu ditegaskan melalui Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum.
"Namun, seiring dengan datangnya era reformasi pada pertengahan tahun 1998, muncul arus besar aspirasi masyarakat yang menuntut untuk dilakukannya perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945," tutur Bamsoet.
Aspirasi masyarakat itu, kata Bamsoet, lantas segera disikapi MPR dengan terlebih dahulu mencabut Ketetapan MPR RI tentang Referendum melalui Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1998.
Pencabutan Ketatapan MPR itu, lanjutnya, memuluskan jalan bagi MPR hasil pemilihan umum (Pemilu) 1999 untuk menindaklanjuti tuntutan masyarakat yang menghendaki perubahan UUD.
Bamsoet mengeklaim, tindakan tersebut sebagai langkah responsif MPR pada masa itu dalam menyikapi arus besar aspirasi masyarakat.
"Responsivitas yang sama saat ini sedang ditunggu masyarakat, yaitu berkaitan dengan adanya arus besar aspirasi yang berhasil dihimpun MPR, yaitu kehendak menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN)," klaim Bamsoet.
Lebih lanjut, dia menyebut bahwa sudah tiga periode ini MPR diamanatkan untuk menghadirkan PPHN.
Namun, menurutnya tiga periode MPR belum berhasil mendorong masuknya PPHN sebagai bintang pengarah bangsa ke depan.
Padahal, klaim Bamsoet, PPHN dibutuhkan untuk mengarahkan bangsa ke depan agar tak lantas berganti haluan setiap pergantian kepemimpinan.
"Sehingga Indonesia ke depan tidak seperti orang menari poco-poco. Maju dua langkah, mundur tiga langkah. Ada arah yang jelas ke mana bangsa ini akan dibawa oleh para pemimpin kita dalam 20, 30, 50, hingga 100 tahun yang akan datang," imbuh Bamsoet.
Sebelumnya, Bamsoet juga menyinggung isu amendemen UUD 1945 pada pidatonya dalam Sidang Tahunan MPR, Senin (16/8/2021).
Adapun amendemen UUD 1945 dikhawatirkan memicu perubahan pasal-pasal seperti masa jabatan kepresidenan.
Namun, Bamsoet mengeklaim bahwa amendemen UUD 1945 tentang PPHN tidak akan melebar ke pasal-pasal lainnya.
"Perubahan terbatas tidak memungkinkan untuk membuka kotak pandora, eksesif terhadap perubahan pasal-pasal lainnya," kata Bamsoet dalam Sidang Tahunan MPR, Senin (16/8/2021).
"Apalagi semangat untuk melakukan perubahan adalah landasan filosofis politik kebangsaan dalam rangka penataan sistem ketatanegaraan yang lebih baik," imbuhnya.
https://nasional.kompas.com/read/2021/08/18/12482071/kembali-singgung-amendemen-uud-1945-bamsoet-sebut-konstitusi-bukan-kitab