Pada saat bersamaan, pesan berantai berisi kabar duka, baik itu dari rekan kerja maupun sanak famili, masuk melalui aplikasi layanan percakapan daring WhatsApp.
Di akhir pesan, tak jarang terselip peringatan yang berisi “jenazah akan dimakamkan dengan protokol Covid-19”.
Frustrasi? Tentu saja.
Pandemi Covid-19 di Indonesia telah berjalan selama 500 hari sejak Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus pertama pada 2 Maret 2020.
Selama itu pula, para tenaga kesehatan mulai dari dokter, perawat, tenaga laboratorium, hingga relawan yang membantu dalam proses antar jemput pasien, jenazah hingga petugas pengubur jenazah, berjibaku dengan waktu.
Satuan Tugas Penanganan Covid-19 mencatat, total kasus Covid-19 di Tanah Air mencapai 2.670.046 kasus hingga hari ini, Rabu (13/7/2021).
Jumlah tersebut mengalami penambahan 54.517 kasus baru Covid-19 dalam sehari, yang sekaligus merupakan rekor penambahan kasus tertinggi selama pandemi berlangsung.
Kondisi ini diperparah dengan banyaknya pasien yang masih menjalani perawatan, yakni mencapai 443.473 orang.
Jumlah tersebut adalah data yang tercatat oleh pemerintah. Tak menutup kemungkinan ada pasien positif Covid-19 yang tak terdeteksi keberadaannya namun berada di sekitar masyarakat.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pun telah menyampaikan agar fasilitas kesehatan harus mempersiapkan diri menghadapi potensi lonjakan kasus Covid-19, paling tidak hingga akhir Juli.
Prediksi ini sebelumnya telah disampaikan oleh pemerintah jauh-jauh hari, menyusul masih adanya mobilitas masyarakat pada saat libur panjang hari raya beberapa waktu lalu yang bersamaan dengan masuknya varian delta ke Tanah Air, yang diyakini lebih menular dibandingkan varian lain.
"Kalau saya melihat, mungkin kita harus antisipasi sampai akhir bulan ini, kita harus benar-benar mempersiapkan fasilitas kesehatan kita," kata Budi dalam rapat dengan Komisi IX DPR, Selasa (13/7/2021).
Inisiator relawan Lapor Covid-19, Irma Hidayana mengaku, para relawan mengalami kelelahan secara emosional lantaran banyaknya permohonan bantuan pencarian ruang perawatan.
Mereka yang meminta pertolongan kebanyakan adalan pasien Covid-19 dengan gejala sedang hingga berat.
Namun, upaya untuk mencari pertolongan itu tak berhasil. Kebanyakan, rumah sakit penuh bahkan nyaris kolaps.
"Sudah kewalahan, sebab banyak tidak berhasilnya. Lebih banyak tidak dapat RS atau ICU, semua ful. Semua faskes menolak," kata Irma kepada Kompas.com, Kamis (1/7/2021).
"Kami juga lelah secara emosional menghadapi penolakan RS dan melihat pasien dibiarkan kesakitan. Kami lihat pasien dalam kondisi kegawatdaruratan, tapi dibiarkan tidak dapat layanan medis semestinya. Frustrating," ujar dia.
PPKM darurat
Pemerintah sendiri telah mengambil langkah untuk mencegah semakin tingginya lonjakan kasus Covid-19.
Sejak 3 Juli 2021, pemerintah menjalankan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat. Pemerintah sebelumnya telah melakukan asesmen untuk mengetahui kondisi penularan kasus Covid-19.
"Saya memutuskan untuk memberlakukan PPKM Darurat sejak tanggal 3 Juli hingga 20 Juli 2021 khusus di Jawa dan Bali," kata Jokowi melalui tayangan YouTube Sekretariat Presiden.
Ada sejumlah perbedaan di dalam penerapan PPKM darurat dan PPKM yang telah dilaksanakan sebelumnya. Terutama, dari segi aktivitas perkantoran, kegiatan di pusat perbelanjaan dan tempat ibadah, hingga aktivitas perjalanan masyarakat.
Meski pada awal penerapannya sempat terjadi kericuhan antara masyarakat dan aparat yang bertugas di pos penyekatan akses menuju wilayah ibu kota, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengklaim bahwa mobilitas masyarakat mengalami penurunan sepekan setelah kebijakan itu diterapkan.
"Hasil yang kami dapat selama periode 3, 10 Juli, seluruh provinsi Jawa-Bali sudah menunjukkan penurunan mobilitas masyarakat pada level 10-15 persen," tutur Luhut.
Namun, Luhut mengaku bahwa penurunan yang dicapai belum mendekati target yang ditetapkan yakni sebesar 20 persen.
Oleh karena itu, ia berharap agar target itu dapat tercapai dalam sepekan ke depan.
Namun, bila penerapan PPKM darurat tak kunjung membuahkan hasil, pemerintah tak menutup kemungkinan akan memperpanjang pelaksanaannya.
Worst case scenario
Sementara itu, Luhut mengungkap bahwa pemerintah telah menyiapkan skenario terburuk apabila lonjakan kasus harian Covid-19 di Indonesia telah mencapai angka 40.000 hingga 50.000 kasus per hari.
Skenario tersebut berkaitan dengan penambahan fasilitas layanan kesehatan, penyediaan obat-obatan, hingga pemenuhan kebutuhan oksigen.
"Penambahan tempat tidur di Jakarta dengan worst case scenario saya kira berjalan terus. Dan juga di Jawa Barat, Bandung, di Semarang, sampai di Jawa Timur dan Bali," kata Luhut dalam konferensi pers daring, Senin (12/7/2021).
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, tingkat keterisan tempat tidur atau bed occupancy rate 18 provinsi di Indonesia sudah di atas 60 persen. Bahkan, Provinsi Banten mencatat BOR mencapai 91 persen.
Di posisi berikutnya terdapat DI Yogyakarta (90 persen), DKI Jakarta (86 persen), Lampung (86 persen), Jawa Barat (85 persen), dan Kalimantan Timur (85 persen).
Luhut mengaku, telah meminta TNI untuk menyiapkan rumah sakit lapangan untuk mengantisipasi lonjakan tersebut.
Pada saat bersamaan, pemerintah terus mengupayakan pasokan obat yang dibutuhkan dalam perawatan pasien Covid-19, seperti Actemra dan Remdesivir, untuk dapat diproduksi di dalam negeri.
Selain itu, upaya pemenuhan pasokan oksigen juga terus dilakukan, di samping mempercepat pelaksanaan vaksinasi Covid-19 guna mencapai herd immunity.
Ahli epidemiologi dari Griffith University, Australia, Dicky Budiman menilai, langkah pemerintah yang telah menyiapkan worst case scenario perlu diapresiasi.
Meski begitu, pelaksanaan 3T yaitu tracing, testing, dan treatment perlu diperkuat untuk meringankan beban rumah sakit.
"Ini yang dilakukan ini baru di hilir, dan kita enggak bisa selalu mengandalkan itu, karena penduduk kita besar. Kalau kita tidak cegah di hulunya, ya jebol, sekarang saja sudah jebol fungsi layanan kesehatan maka perkuat juga di hulu 3T," kata Dicky saat dihubungi Kompas.com, Selasa (13/7/2021).
Dicky mengatakan, kapasitas testing dan tracing sebaiknya tidak hanya 500.000, tetapi ditingkatkan menjadi 1 juta.
"Karena kalau ada kematian 1.000 kasus berarti tiga minggu lalu saja sudah paling 130.000 kasus infeksi. Nah, itu artinya yang terdeteksi dan yang ada di masyarakat itu bukan 130.000, tapi kali 10 (kali)-nya, ini yang harus dicegah," ujarnya.
https://nasional.kompas.com/read/2021/07/14/18262031/berharap-worst-case-scenario-pemerintah-untuk-atasi-covid-19-cukupkah