Peristiwa itu mengusik benak Harmoko hingga membuatnya menyampaikan permintaan maaf ke Presiden Soeharto.
Bukan tanpa sebab, peristiwa itu terjadi dalam sidang paripurna yang menandai terpilihnya Soeharto sebagai Presiden RI untuk ketujuh kalinya.
Harmoko kala itu menjabat sebagai Ketua MPR.
Seperti biasa, sebagai pimpinan, ia menutup sidang dengan mengetukkan palu sebanyak tiga kali.
Namun, hari itu, palu sidang patah saat diketukkan. Kepala palu terlempar ke depan meja jajaran anggota MPR.
"Begitu palu sidang saya ketukkan, meleset, bagian kepalanya patah, kemudian terlempar ke depan...," kata Harmoko dalam buku Berhentinya Soeharto: Fakta dan Kesaksian Harmoko.
Saat itu, Siti Hardiyanti Rukmana atau Mbak Tutut, putri sulung Presiden Soeharto, berada di barisan terdepan dan berhadapan langsung dengan kursi pimpinan dewan.
Peristiwa itu tentu saja juga disaksikan Presiden Soeharto yang hadir dalam ruangan.
Insiden patahnya palu sidang baru pertama kali terjadi dalam sejarah persidangan MPR. Tak heran peristiwa itu sedikit mengguncang hati Harmoko.
"Bahwa hati saya bertanya-tanya," ujarnya
Usai sidang, seperti biasa, Harmoko mendampingi Presiden Soeharto meninggalkan ruangan.
Sambil berjalan di atas karpet menuju lift Gedung MPR-DPR, batin Harmoko terus diliputi pertanyaan-pertanyaan tentang patahnya palu dalam persidangan.
Tepat di depan lift, Harmoko menyatakan permohonan maaf ke Presiden Soeharto.
"Saya minta maaf, palunya patah. Lantas Pak Harto hanya tersenyum sambil menjawab 'barangkali palunya kendor'," tutur Harmoko.
Lengser keprabon
Sebelum Sidang Paripurna MPR digelar, suasana politik di Tanah Air sudah cukup panas.
Sepanjang 1997 pencalonan Soeharto sebagai Presiden RI yang ketujuh kali menjadi sorotan publik.
Apalagi, sebelumnya Soeharto sempat mengungkapkan keinginannya untuk lengser keprabon, madeg pandito.
Dalam peringatan HUT Partai Golkar pada Oktober 1997, partai berlambang beringin itu menyatakan rencana mereka untuk kembali mencalonkan Soeharto sebagai presiden. Namun, Soeharto meminta agar rencana itu diteliti lagi.
Dalam sambutannya sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar, Pak Harto menyinggung ungkapan dalam cerita pewayangan "Lengser Keprabon".
Mantan Panglima Kostrad itu mengatakan, bukan masalah baginya bila rakyat sudah tidak memercayainya lagi sebagai pemimpin.
"Saya akan menempatkan diri sebagaimana dalam falsafah pewayangan yaitu lengser keprabon madeg pandito (pensiun menjadi pemimpin akan menjadi begawan)," kata Soeharto.
Dari situ, sebagian publik menilai bahwa Pak Harto enggan menjadi presiden lagi.
Di saat bersamaan, sejumlah tokoh menyerukan perlunya suksesi kepemimpinan nasional pasca-Presiden Soeharto. Salah satu tokoh yang vokal yakni Amien Rais.
Pada periode itu pula, kritik-kritik tajam mengarah ke pemerintah dan Presiden Soeharto. Penyebabnya tidak lain krisis ekonomi 1998.
Harga kebutuhan pokok melambung tinggi selama krisis ekonomi. Bank berguguran hingga membuat masyarakat berbondong-bondong menarik dana yang semula mereka simpan.
Situasi diperparah dengan anjloknya nilai tukar rupiah hingga Rp 16.000 per dollar AS. Devisa negara tergerus hanya tinggal 20 miliar dollar.
Dalam waktu yang bersamaan, utang pemerintah mencapai 130 miliar dollar AS.
Menyikapi situasi tersebut, Soeharto memutuskan untuk bekerja sama dengan International Monetary Fund (IMF). Namun, langkah itu justru menyulut amarah publik.
Situasi ekonomi yang pelik berujung pada krisis sosial dan politik. Dalam hitungan bulan, krisis itu mencapai puncak.
Meski demikian, peristiwa tersebut tak menghalangi majunya Soeharto dalam pencalonan presiden.
Untuk ketujuh kalinya, Soeharto dilantik lagi sebagai Presiden RI pada 11 Maret 1998.
Firasat
Usai terpilih lagi menjadi presiden, aksi demonstrasi besar-besaran terjadi. Para demonstran menentang Soeharto dan pemerintahan.
Insiden patahnya palu dalam Sidang Paripura ke-V pada 11 Maret 1998 silam pun dirasakan sebagai firasat tersendiri oleh Harmoko.
Benar saja, pada 21 Mei 1998, Soeharto memutuskan mundur dari jabatannya karena desakan publik. Pengunduran diri Soeharto hanya berselang 70 hari setelah peristiwa patahnya palu.
Perjalanan Soeharto sebagai Presiden RI selama 32 tahun pun patah bak palu yang diketukkan Harmoko.
Menurut Arwan Tuti Artha, penulis buku Dunia Spritual Soeharto, patahnya kepala palu di Sidang Paripura MPD ke-V memberi isyarat patahnya perjalanan Pak Harto di tengah jalan.
Harmoko menjadi saksi dari runtuhnya kekuasaan Orde
Baru. Dirinya pula yang ternyata menyimpan firasat akan jatuhnya kejayaan pemimpin yang berkuasa 32 tahun lamanya.
Kini, Harmoko telah tutup usia. Ia mengembuskan napas terakhir di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta, Minggu (5/7/2021) malam.
Harmoko yang juga mantan Menteri Penerangan dan Ketua Umum Golkar itu meninggal dunia pada usia 82 tahun.
https://nasional.kompas.com/read/2021/07/05/10120451/harmoko-patahnya-palu-sidang-mpr-dan-lengsernya-soeharto