JAKARTA, KOMPAS.com - Setelah buron kasus pembalakan liar Adelin Lis, Kejaksaan Agung kembali memulangkan buron kasus percobaan pembunuhan, Hendra Subrata. Pemulangan Hendra hanya berselang seminggu dari Adelin Lis.
Diketahui Adelin menjadi buron selama 13 tahun, sedangkan Hendra 10 tahun. Adelin dan Hendra sama-sama menggunakan paspor dengan identitas diri berbeda sehingga luput saat kabur dari Indonesia.
Adelin menggunakan paspor atas nama Hendro Leonardi, sedangkan Hendra menggunakan paspor atas nama Endang Rifai.
Pelarian Adelin dan Hendra ke luar negeri dengan modus yang serupa, menurut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho, jadi momentum untuk membongkar jejaring pembuatan paspor palsu.
Kepolisian, kata Hibnu kepada Kompas.id, harus mampu mengungkap aktor yang berperan, kapan dokumen digunakan, dan lembaga mana yang berwenang untuk menerbitkan paspor.
“Ini saatnya Bareskrim harus membuka jaringan paspor palsu. Apakah melibatkan pihak imigrasi atau instansi yang lain, karena kejadiannya beruntun,” ujar Hibnu.
Kejadian ini, menurut Hibnu bukanlah hal yang sepele karena melibatkan beberapa institusi. Karenanya, pengungkapannya pun harus dilakukan secara holistik agar aspek obyektivitas penyelesaian perkara ini menjadi jelas.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Jakarta, Trubus Rahadiansyah menambahkan, penyidik harus mampu menggali keterangan dari Adelin dan Hendra untuk mengetahui mekanisme pembuatan dokumen asli tapi palsu yang mereka miliki.
Tidak hanya paspor, tetapi juga dokumen kependudukan yang menjadi dasar pembuatannya.
Ia mengusulkan, penyidikan dilakukan oleh dua lapis penyidik profesional. Pertama, mereka yang berperan mengumpulkan bukti berupa dokumen dan kesaksian dari pihak lain. Kedua, penyidik yang menggali keterangan langsung dari para terpidana.
Proses tersebut dinilai Trubus mampu mengungkap jaringan pembuatan paspor palsu dan auktor intelektual yang membantu pelarian para terpidana.
Trubus menduga, pelarian para terpidana dengan pemalsuan sejumlah dokumen tidak hanya dilakukan dengan memanfaatkan celah yang ada di setiap instansi pemerintah.
Ini juga, kata Trubus, mengindikasikan cara kerja mafia yang berjejaring dengan banyak pihak, baik di dalam maupun di luar instansi pemerintah.
Dalam kerangka itu, diduga ada pihak yang berperan melindungi pelanggaran serta mengambil keuntungan dari para buronan.
Oleh karena itu, pengusutan hendaknya bisa tuntas hingga menemukan auktor intelektual yang berperan.
Berkaca dari kasus pelarian Joko Tjandra, Trubus menilai penegak hukum sebatas menangkap pihak yang membantu Joko di lapangan.
“Kalau pengusutan berhenti pada auktor di lapangan, berarti kita masih sangat jauh dari harapan untuk menjadi negara dengan good governance. Ini akan menimbulkan ketidakpercayaan publik di mana hukum hanya tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas,” kata Trubus.
https://nasional.kompas.com/read/2021/06/27/14442441/penangkapan-adelin-dan-hendra-jadi-momentum-aparat-penegak-hukum-bongkar