Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu secara khusus menyoroti pedoman terhadap Pasal 27 Ayat (1), (3), (4), Pasal 28 ayat (2), Pasal 29, dan Pasal 36 UU ITE.
“ICJR melihat ada beberapa ketentuan yang dapat berpeluang membantu perbaikan masalah implementasi UU ITE di lapangan, namun masih terdapat catatan yang menjadi dasar kuat revisi UU ITE harus disegerakan,” kata Erasmus dalam keterangan tertulis, Kamis (24/6/2021).
Pertama, ICJR menilai pedoman untuk Pasal 27 Ayat (1) masih membuka ruang kriminalisasi.
Meskipun dalam pedoman Pasal 27 ayat (1) ini telah merujuk Pasal 281-282 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU Pornografi yang mengatur bahwa pelanggaran yang dilakukan harus bersifat komersil atau untuk di muka umum.
Namun, ia menilai pasal itu masih berpotensi dapat menjerat orang per orang, tanpa secara tegas memastikan perbuatan yang dipidana adalah perbuatan transmisi/distribusi/membuat dapat diakses harus ditujukan untuk diketahui umum.
“Hal ini tetap membuka ruang kriminalisasi bagi korban Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) atau korepondensi privat atau pribadi yang tidak ditujukan untuk umum atau tidak untuk kebutuhan komersil,” ujar Erasmus.
Kedua, Erasmus menyoroti Pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian. Menurutnya, dalam pedoman yang ada sudah berusaha untuk memberikan batasan terkait ujaran kebencian.
Namun, Erasmus berpandangan, permasalahan sesungguhnya terletak pada pengertian ‘antargolongan’ dalam pasal tersebut.
“Unsur ‘antargolongan’ masih menjadi masalah serius paska putusan MK, sehingga ini memang harus direvisi nantinya,” tegasnya.
Ketiga, Erasmus juga menyoroti Pasal 29 UU ITE tentang pengancaman di ruang siber atau cyberbullying.
Menurut dia, pedoman yang ada mengenai pasal ini cukup bermasalah karena tidak memasukkan syarat terkait pasal tersebut sebagai delik aduan.
“Pasal ini harusnya merupakan delik aduan karena ditujukan pada pribadi. Hal ini harus dipertegas, khususnya dalam revisi UU ITE nantinya,” ucap dia.
Selanjutnya, Erasmus mencatat masih adanya potensi masalah terhadap Pasal 36 tentang perbuatan pidana yang menyebabkan kerugian bagi orang lain.
Erasmus menjelaskan, pedoman yang ada masih belum mempertegas peran dari Polisi dan Jaksa dalam melakukan pemeriksaan kerugian materiil dari pelanggaran yang diderita korban akibat Pasal 27 sampai 34 UU ITE.
Kendati demikian, Erasmus juga memberikan apresiasi terhadap pedoman di Pasal 27 Ayat (3) tentang pencemaran nama baik dan Pasal 27 Ayat (4) tentang pemerasan/pengancaman.
Erasmus mengatakan, pedoman mengatur agar Pasal 27 Ayat (3) merujuk ke Pasal 310 dan 311 KUHP sebagai delik pokoknya, sehingga laporan hanya bisa dibuat melalui delik aduan langsung.
ICJR berpandangan isi dari pedoman tersebut setidaknya dapat berpeluang dapat memperbaiki implementasi aturan UU ITE di lapangan.
Namun, Erasmus menekankan, pedoman ini harus menjadi isyarat pentingnya melakukan revisi kedua UU ITE.
“Sebab tanpa revisi UU ITE, maka tidak ada jaminan pasti selesainya berbagai permasalahan yang tidak dapat disentuh oleh Pedoman UU ITE,” ucap dia.
Diketahui sebelumnya SKB tentang pedoman kriteria implementasi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE resmi ditandatangani.
Mahfud mengatakan, pedoman ini diharapkan bisa memberikan perlindungan masyarakat.
"Sambil menunggu revisi terbatas, pedoman implementatif yang ditandatangani tiga menteri dan satu pimpinan lembaga setingkat menteri bisa berjalan dan bisa memberikan perlindungan yang lebih maksimal kepada masyarakat," ujar Mahfud dalam keterangan tertulis, Rabu (23/6/2021) sore.
https://nasional.kompas.com/read/2021/06/24/20400751/pemerintah-terbitkan-pedoman-uu-ite-icjr-nilai-masih-ada-celah-ruang