Namun, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu menegaskan, revisi UU ITE masih tetap perlu untuk segera dilakukan.
“ICJR melihat ada beberapa ketentuan yang dapat berpeluang membantu perbaikan masalah implementasi UU ITE di lapangan, namun masih terdapat catatan yang menjadi dasar kuat revisi UU ITE harus disegerakan,” kata Erasmus dalam keterangan tertulis, Kamis (24/6/2021).
Secara umum, ICJR menilai pedoman tersebut disusun sebagai pedoman implementasi dalam masa transisi pengesahan revisi kedua UU ITE, seperti yang dijanjikan pemerintah.
ICJR berpandangan, tanpa revisi kedua UU ITE, maka tidak ada jaminan berbagai permasalahan yang tidak dapat disentuh oleh pedoman tersebut akan selesai.
“Keberadaan Pedoman ini harus menjadi isyarat pentingnya Revisi UU ITE untuk segera dibahas oleh Pemerintah dan DPR,” ujarnya.
“Pedoman semacam ini tidak boleh menjadi kebiasaan dalam menjawab permasalahan norma dalam sebuah undang-undang,” tutur dia.
ICJR pun menyoroti Pasal 27 Ayat (1) tentang kesusilaan.
Menurut dia, pedoman sudah merujuk Pasal 281-282 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU Pornografi yang mengatur bahwa pelanggar harus bersifat komersil atau untuk di muka umum.
Namun, ia menilai pedoman itu masih berpotensi dapat menjerat orang per orang, tanpa secara tegas memastikan perbuatan yang dipidana adalah perbuatan transmisi/distribusi/membuat dapat diakses harus ditujukan untuk diketahui umum.
“Hal ini tetap membuka ruang kriminalisasi bagi korban Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) atau korepondensi privat atau pribadi yang tidak ditujukan untuk umum atau tidak untuk kebutuhan komersil,” ujar Erasmus.
Lebih lanjut, Erasmus menyoroti Pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian. Pedoman yang ada menurutnya sudah berusaha untuk memberikan batasan terkait ujaran kebencian.
Namun, Erasmus berpandangan, permasalahan sesungguhnya terletak pada pengertian ‘antargolongan’ dalam pasal tersebut.
“Unsur ‘antargolongan’ masih menjadi masalah serius paska putusan MK, sehingga ini memang harus direvisi nantinya,” tegasnya.
Kemudian, Erasmus menyoroti Pasal 29 UU ITE tentang pengancaman di ruang siber atau cyberbullying.
Menurut dia, pedoman yang ada mengenai pasal ini cukup bermasalah karena tidak memasukkan syarat terkait pasal tersebut sebagai delik aduan.
“Pasal ini harusnya merupakan delik aduan karena ditujukan pada pribadi. Hal ini harus dipertegas, khususnya dalam revisi UU ITE nantinya,” ucap dia.
Lebih lanjut, Erasmus mencatat masih adanya potensi masalah terhadap Pasal 36 tentang perbuatan pidana yang menyebabkan kerugian bagi orang lain.
Erasmus menjelaskan, pedoman yang ada masih belum mempertegas peran dari Polisi dan Jaksa dalam melakukan pemeriksaan kerugian materiil dari pelanggaran yang diderita korban akibat Pasal 27 sampai 34 UU ITE.
Selanjutnya, Pasal 27 Ayat (3) tentang pencemaran nama baik dan Pasal 27 Ayat (4) tentang pemerasan/pengancaman.
Erasmus mengatakan pihaknya memberikan catatan yang baik untuk perbaikan dalam pedoman atas kedua pasal itu.
Untuk Pasal 27 Ayat (3) merujuk ke Pasal 310 dan 311 KUHP sebagai delik pokoknya, sehingga laporan hanya bisa dibuat melalui delik aduan langsung.
https://nasional.kompas.com/read/2021/06/24/16583311/pedoman-uu-ite-berpeluang-bantu-masalah-implementasi-tapi-revisi-uu-ite