JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Badan Pengkajian Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Djarot Saiful Hidayat menegaskan, pihaknya tidak pernah mengkaji soal perubahan Pasal 7 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tentang masa jabatan presiden.
Menurut Djarot, Badan Pengkajian MPR juga tidak pernah menerima usulan tertulis dari fraksi-fraksi dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terkait perubahan masa jabatan presiden.
“BP (Badan Pengkajian) MPR tidak pernah melakukan kajian terhadap pasal 7 terkait dengan masa jabatan Presiden,” ujar Djarot, saat dihubungi Kompas.com, Kamis (24/6/2021).
Anggota Komisi II DPR ini menuturkan, Badan Pengkajian MPR tengah fokus membahas rekomendasi mengenai amendemen UUD 1945 dari periode sebelumnya.
Rekomendasi tersebut terkait amendemen terbatas atas Pasal 3 UUD 1945 mengenai Pokok-pokok Halauan Negara (PPHN).
“Kajian secara mendalam tentang bentuk hukum dan substansi pokok-pokok haluan negara,” ucap Dajarot.
“Yang memungkinkan dilakukan melalui ketetapan MPR dengan melalukan amandemen terbatas di Pasal 3, dengan memberikan kewenangan pada MPR untuk mengubah dan menetapkan PPHN,” sambung dia.
Belakangan, wacana perubahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode kembali mengemuka.
Bahkan, sejumlah pihak mulai mendeklarasikan dukungan kepada Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dalam pemilihan presiden-wakil presiden (Pilpres) 2024.
Wacana perpanjangan masa jabatan presiden melalui amendemen ini sebelumnya muncul setelah PDI Perjuangan menyatakan dukungan kepada Bambang Soesatyo duduk di kursi Ketua MPR RI 2019-2024.
Dukungan PDI-P kepada Bambang bukan tanpa syarat. Satu dari lima syarat yang disampaikan, PDI-P meminta Bambang mendukung kelanjutan rencana amendemen terbatas UUD 1945 untuk menghidupkan kembali Haluan Negara melalui Ketetapan MPR.
Sebelum menjadi Ketua MPR, Bambang pernah mengusulkan agar pemilihan presiden kembali digelar secara tak langsung. Artinya, presiden dipilih oleh MPR seperti pada Pemilu 1999.
Salah satu alasan yang bisa merealisasikan presiden dipilih MPR adalah kerumitan dalam pelaksanaan Pilpres 2019 yang juga mengakibatkan polarisasi tajam di masyarakat.
Kemudian, saat menyampaikan pidato pertamanya sebagai Ketua MPR periode 2019-2024, Bambang Soesatyo sempat menyinggung soal kebutuhan amendemen UUD 1945.
Wacana amendemen ini pun dikhawatirkan akan menjadi bola liar.
Johnny G Plate, ketika menjabat Ketua Fraksi Partai Nasdem di MPR , berpendapat, amendemen UUD 1945 harus dibahas secara komprehensif. Pasalnya, kata Plate, konstitusi negara Indonesia tidak mengenal istilah amendemen terbatas.
Oleh sebab itu, pembahasan amendemen seharusnya tidak hanya terbatas pada kewenangan MPR menentukan haluan negara, melainkan juga terkait masa jabatan presiden.
"Haluan negara tujuannya untuk apa? Supaya konsistensi pembangunan. Konsistensi pembangunan juga terikat dengan eksekutifnya. Masa jabatan presiden juga berhubungan. Nanti perlu didiskusikan semuanya," ujar Plate di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (7/10/2019).
Plate menilai, penerapan kembali GBHN akan memengaruhi kedudukan dan struktur serta masa jabatan lembaga eksekutif, yakni presiden.
Menurut dia, muncul berbagai pendapat dari masyarakat terkait perubahan masa jabatan presiden. Ada yang mengusulkan masa jabatan presiden menjadi 8 tahun dalam satu periode.
Ada pula yang mengusulkan masa jabatan presiden menjadi empat tahun dan bisa dipilih sebanyak tiga kali.
Usul lainnya, masa jabatan presiden menjadi lima tahun dan dapat dipilih kembali sebanyak tiga kali.
"Itu harus didiskusikan. Jadi mendalaminya harus komprehensif tidak sepotong-potong," kata Plate.
https://nasional.kompas.com/read/2021/06/24/13152571/ketua-badan-pengkajian-mpr-tak-ada-kajian-soal-perubahan-masa-jabatan