JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan salah satu upaya penerintah dalam menyusun sistem rekodifikasi.
Eddy, sapaan akrab Edward, menyebut, Indonesia tidak lagi menggunakan istilah kodifikasi tetapi rekodifikasi.
"Jadi kalau kita melihat sejarah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita, itu kalau dalam bahasa Arab 'nasab'nya jelas, anak kandung hukum pidana Belanda, cucu kandung hukum pidana Perancis dan cicit kandung hukum pidana Romawi," ucap Eddy dalam diskusi publik RUU KUHP, Senin (14/6/2021).
"Kondifikasi sudah dilakukan sejak zaman Romawi," ucap dia.
Eddy menjelaskan bahwa, pasca-Perang Dunia ke II, hukum pidana tumbuh masif dengan perkembangan teknologi dan berbagai modus operandi.
Akan tetapi, KUHP yang ada, dianggap tidak bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.
"Oleh karena itu berbagai ketentuan di dalam KUHP yang ada, sebagian pasal itu kemudian dikeluarkan dan dijadikan Undang-Undang tersendiri," kata Eddy.
Ia mencontohkan pada pasal 204, 205 KUHP tentang kejahatan terhadap barang dan makanan mengenai obat-obat terlarang misalnya.
Dari pasal tersebut, Eddy menyebut, pada tahun 1976 kemudian Indonesia memiliki Undang-Undang tentang Narkotika atau Undang-Undang nomor 19 tahun 1976.
Selain itu, juga terjadi pada saat Indonesia meratifikasi konvensi yang berkaitan dengan hijacking atau pembajakan pesawat udara.
"Kita melakukan penambahan terhadap sejumlah pasal di dalam KUHP yaitu pasal 479 a tentang kejahatan pelayaran, lalu dimasukan lah berbagai ketentuan konvensi yang berkaitan dengan pembajakan pesawat udara," papar Eddy.
"Pada tahun 2009, ketentuan itu dihapus, lalu dibentuklah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan," sambung dia.
Contoh lainnya, lanjut Eddy, yakni mengenai berbagai kejahatan jabatan yang juga dikeluarkan dari KUHP.
Setelah dikeluarkan, pasal mengenai kejahatan jabatan itu kemudian dibentuk Undang- Undang yang dikenal sebagai Undang Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Saat ini yang ditempuh pemerintah dan DPR adalah rekodifikasi. Jadi yang tadinya pasal-pasal itu ada dalam KUHP, dikeluarkan dari KUHP lalu kembali dihimpun, dikumpulkan kembali, dimasukan ke dalam rumah besar yang namanya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana," kata Eddy.
Segera diusulkan
Sebelumnya diberitakan, pemerintah akan segera mengusulkan revisi KUHP masuk daftar program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2021.
"Jadi tadi ada kesepakatan bahwa ini (RKUHP) akan segera dimasukkan sebagai RUU Prioritas 2021," kata Eddy seusai rapat kerja dengan Komisi III DPR, dikutip dari Antara.
Eddy mengatakan, substansi pembahasan hanya mengenai pasal-pasal yang belum selesai dibahas pada periode sebelumnya. Sebab, RKUHP merupakan carry over atau peralihan dari DPR periode 2014-2019.
Diketahui, RKUHP nyaris disahkan oleh DPR dalam Rapat Paripurna pada Senin (30/9/2019) lalu meski menuai protes keras dari publik melalui unjuk rasa besar-besaran di sejumlah daerah.
Saat itu, DPR akhirnya menunda pengesahan RKUHP dan sejumlah RUU kontroversial lainnya.
Presiden Joko Widodo juga meminta agar DPR menunda pengesahan RKUHP yang menuai polemik di masyarakat.
"Saya berkesimpulan masih ada materi-materi yang butuh pendalaman lebih lanjut," kata Jokowi, Jumat (20/9/2019). Ketika itu, Jokowi meminta agar pengesahan RKUHP ditunda.
Ia menyebut, masih ada materi-materi dalam RKUHP yang butuh pendalaman lebih lanjut. Setidaknya, ada 14 pasal dalam RKUHP yang disebut Jokowi bermasalah.
Jokowi kemudian memerintahkan Yasonna untuk menampung masukan dari berbagai kalangan terkait revisi UU tersebut sebelum disahkan oleh DPR.
https://nasional.kompas.com/read/2021/06/14/12073301/wamenkumham-sebut-ruu-kuhp-sebagai-upaya-pemerintah-susun-sistem