Salin Artikel

Pimpinan KPK Mangkir, UU Wajibkan Panggilan Komnas HAM Dipenuhi

Paling baru, pimpinan KPK Firli Bahuri dkk mendapat pemanggilan Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) atas adanya laporan dugaan pelanggaran HAM dalam TWK.

Sedianya, Firli dkk harus hadir ke Komnas HAM pada Selasa (8/6/2021) kemarin. Namun, para pemimpin KPK itu memilih untuk mangkir.

Firli dkk justru membalas surat pemanggilan Komnas HAM dengan menyurati balik. Melalui surat itu, mereka mempertanyakan dugaan pelanggaran yang disangkakan.

"Senin, 7 Juni 2021 pimpinan KPK telah berkirim surat kepada Komnas HAM untuk meminta penjelasan lebih dahulu mengenai hak asasi apa yang dilanggar pada pelaksanaan alih status pegawai KPK," kata Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangan tertulis, Selasa.

Sikap pimpinan KPK itu seketika menuai hujan kritik. Tindakan tersebut bahkan diindikasikan sebagai bentuk perlawanan hukum.

Hal ini menambah daftar panjang permasalahan proses TWK yang merupakan bagian dari proses alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN).

Wajib penuhi panggilan

Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa panggilan Komnas HAM wajib dipenuhi pihak yang bersangkutan.

Pasal 89 Ayat (3) huruf c menyebutkan, Komnas HAM berwenang melakukan pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban maupun pihak yang diadukan untuk dimintai dan didengar keterangannya.

Sementara itu, sebagaimana diatur Pasal 94, pihak-pihak tersebut wajib untuk memenuhi panggilan Komnas HAM.

"Pihak pengadu, korban, saksi, dan atau pihak lainnya yang terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 Ayat (3) huruf c dan d, wajib memenuhi permintaan Komnas HAM," demikian bunyi Pasal 94 Ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999.

Selanjutnya, dalam Pasal 95 dikatakan, "Apabila seseorang yang dipanggil tidak datang menghadap atau menolak memberikan keterangannya, Komnas HAM dapat meminta bantuan Ketua Pengadilan untuk pemenuhan panggilan secara paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan".

"Pihak pengadu, korban, atau pihak yang diadukan diwajibkan untuk memenuhi panggilan Komnas HAM".

Dapat dipanggil paksa

Terkait hal tersebut, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari menyebutkan bahwa sudah seharusnya Firli dkk memenuhi panggilan Komnas HAM.

Jika pemanggilan itu masih juga tak diindahkan, Komnas HAM harus meminta pengadilan melakukan panggilan paksa kepada pimpinan KPK.

"Panggilan paksa itu polisi yang melakukannya atas perintah pengadilan. Komnas HAM sesuai dengan perintah undang-undang harus melakukan itu," kata Feri kepada Kompas.com, Selasa (8/6/2021).

Perbuatan tercela

Feri menilai, ketidakhadiran Firli dkk untuk memenuhi panggilan Komnas HAM mengindikasikan upaya perlawanan terhadap hukum.

Langkah itu bisa disebut sebagai tindakan tercela. Sebagaimana bunyi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, pimpinan lembaga antirasuah yang melakukan tindakan tercela sangat mungkin diberhentikan dari jabatannya.

Pasal 32 Ayat (1) huruf c menyebutkan bahwa pimpinan KPK berhenti atau diberhentikan karena melakukan perbuatan tercela.

"Proses perlawanan terhadap hukum itu bisa saja dalam konteks lembaga seperti KPK merupakan perbuatan tercela. Di dalam UU KPK melakukan perbuatan tercela karena dia pimpinan dapat menjadi alasan pemberhentiannya," ujar Feri.

Menurut Feri, sikap yang ditunjukkan pimpinan KPK dalam proses alih status pegawai KPK jelas merupakan pelanggaran hukum terbuka.

Ia menyebut hal itu sebagai pencemaran institusi hukum. Feri khawatir bahwa proses ini akan melemahkan integritas para pemberantas korupsi.

"Bagi saya, ini betul-betul proses pelanggaran hukum yang sudah sangat terbuka dan tidak malu-malu lagi," kata Feri.

"Ini akan menyebabkan penegak hukum, terutama yang ada di KPK, mudah dirusak karena pimpinan tidak memberikan suri tauladan," tuturnya.


Adapun laporan dugaan pelanggaran HAM oleh pimpinan KPK dilayangkan oleh Wadah Pegawai KPK. Laporan ini dibuat merespons 75 pegawai KPK yang dibebastugaskan setelah dinyatakan tidak lolos TWK.

Komnas HAM pun berjanji bakal menyelidiki kepatuhan KPK dalam pemenuhan standar dan norma hak asasi manusia terkait kebijakan tes wawasan kebangsaan.

Atas dugaan pelanggaran itu, Komnas HAM telah melakukan serangkaian pemeriksaan terhadap sejumlah pengurus Wadah Pegawai KPK dan para pegawai lembaga antirasuah itu.

Polemik ini bermula dari tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai KPK. Para pegawai diwajibkan mengikuti tes tersebut sebagai bagian dari proses alih status pegawai menjadi ASN.

Dari tes tersebut, sebanyak 75 pegawai dinyatakan tidak lolos. Ketua KPK Firli Bahuri pun sudah menerbitkan surat pembebastugasan ke-75 pegawai itu.

Setelah dilakukan pembahasan bersama antara pimpinan KPK, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB), serta Badan Kepegawaian Negara (BKN), diputuskan bahwa 51 dari 75 pegawai yang tidak lolos TWK diberhentikan.

Sementara itu, 24 pegawai lainnya diwajibkan mengikuti pelatihan dan pendidikan wawasan kebangsaan. Setelah mengikuti pelatihan lanjutan, 24 pegawai itu dapat diangkat menjadi ASN.

Adapun sebanyak 1.271 pegawai KPK yang lolos TWK telah dilantik sebagai ASN pada Selasa (1/6/2021).

https://nasional.kompas.com/read/2021/06/09/09372811/pimpinan-kpk-mangkir-uu-wajibkan-panggilan-komnas-ham-dipenuhi

Terkini Lainnya

Polri Akan Gelar Operasi Puri Agung 2024, Kawal World Water Forum Ke-10 di Bali

Polri Akan Gelar Operasi Puri Agung 2024, Kawal World Water Forum Ke-10 di Bali

Nasional
Prabowo Guncangkan Badan Surya Paloh, Sama Seperti Anies Kemarin

Prabowo Guncangkan Badan Surya Paloh, Sama Seperti Anies Kemarin

Nasional
Kasus Dana PEN, Eks Bupati Muna Divonis 3 Tahun Bui

Kasus Dana PEN, Eks Bupati Muna Divonis 3 Tahun Bui

Nasional
Surya Paloh Bakal Bertemu Prabowo Sore Ini, Nasdem Belum Ambil Keputusan

Surya Paloh Bakal Bertemu Prabowo Sore Ini, Nasdem Belum Ambil Keputusan

Nasional
Jalankan Amanah Donatur, Dompet Dhuafa Berbagi Parsel Ramadhan untuk Warga Palestina

Jalankan Amanah Donatur, Dompet Dhuafa Berbagi Parsel Ramadhan untuk Warga Palestina

Nasional
Wapres Sebut Target Penurunan 'Stunting' Akan Dievaluasi

Wapres Sebut Target Penurunan "Stunting" Akan Dievaluasi

Nasional
Persilakan Golkar Tampung Jokowi dan Gibran, PDI-P: Kami Bukan Partai Elektoral

Persilakan Golkar Tampung Jokowi dan Gibran, PDI-P: Kami Bukan Partai Elektoral

Nasional
Dana Pensiun Bukit Asam Targetkan 4 Langkah Penyehatan dan Penguatan pada 2024

Dana Pensiun Bukit Asam Targetkan 4 Langkah Penyehatan dan Penguatan pada 2024

Nasional
Di Depan Wiranto-Hendropriyono, Prabowo Minta Maaf Pernah Nakal: Bikin Repot Senior...

Di Depan Wiranto-Hendropriyono, Prabowo Minta Maaf Pernah Nakal: Bikin Repot Senior...

Nasional
Albertina Dilaporkan Wakil Ketua KPK, Ketua Dewas: Apa yang Salah? Ada Surat Tugas

Albertina Dilaporkan Wakil Ketua KPK, Ketua Dewas: Apa yang Salah? Ada Surat Tugas

Nasional
Polri Terbitkan Red Notice 2 Buron TPPO Bermodus Magang ke Jerman

Polri Terbitkan Red Notice 2 Buron TPPO Bermodus Magang ke Jerman

Nasional
Surya Paloh Bakal Temui Prabowo di Kertanegara, Nasdem: Menguatkan Sinyal Komunikasi

Surya Paloh Bakal Temui Prabowo di Kertanegara, Nasdem: Menguatkan Sinyal Komunikasi

Nasional
Temui Mensesneg Pratikno, Menpan-RB Anas Bahas Progres Skenario Pemindahan ASN ke IKN

Temui Mensesneg Pratikno, Menpan-RB Anas Bahas Progres Skenario Pemindahan ASN ke IKN

Nasional
Jokowi Teken Perpres, Wajibkan Pemda Bentuk Unit Perlindungan Perempuan dan Anak

Jokowi Teken Perpres, Wajibkan Pemda Bentuk Unit Perlindungan Perempuan dan Anak

Nasional
Politikus PPP Sebut Ada Kemungkinan Parpolnya Gabung Koalisi Prabowo-Gibran

Politikus PPP Sebut Ada Kemungkinan Parpolnya Gabung Koalisi Prabowo-Gibran

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke