Melalui surat-surat yang ia tulis, ia mengutuk praktik korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara ketika itu.
"Kejahatan yang memang ada atau lebih baik yang merajalela ialah hal menerima hadiah yang saya anggap sama jahat dan hinanya dengan merampas barang-barang milik rakyat kecil," demikian tulis Kartini pada sahabat penanya, Estella Zeehandelar, di Belanda, 12 Januari 1900.
Walaupun mengutuk, Kartini menilai, korupsi pada zamannya itu lebih 'manusiawi'.
Sebab, korupsi dilakukan tidak semata-mata karena sifat korup sang pejabat tetapi juga karena sistem pemerintahan yang belum mapan.
Kartini menuturkan, ada pegawai-pegawai golongan rendah yang terpaksa melakukan praktik korupsi demi memenuhi kebutuhan hidup mereka akibat rendahnya gaji yang mereka terima.
"Tetapi, saya tidak boleh hanya menyalahkan hanya berdasarkan kenyataan-kenyataan begitu saja. Saya juga harus memperhatikan keadaan para pelaku kejahatan itu," tulis Kartini.
"Menerima hadiah-hadiah itu dilarang oleh pemerintah bagi pegawai-pegawai. Tetapi, kepala-kepala Bumiputera adalah golongan rendah yang digaji sedikit sekali sehingga hampir merupakan suatu keajaiban bagaimana mereka mencukupi keperluan hidup dengan gaji yang sedikit itu," kata dia.
Nasib juru tulis, kerja sampai bongkok, gaji tak seberapa
Kartini juga mencontohkan nasib juru tulis distrik yang disebutnya mesti bekerja sampai punggungnya bongkok tetapi tidak mendapat gaji yang layak.
Hal itu dinilai ironis karena para juru tulis dihadapkan pada gaya hidup pemerintahan yang cukup mewah kala itu karena menyesuaikan dengan orang Belanda, sehingga, para juru tulis harus membiayai keluarga, membayar sewa rumah, serta berpakaian rapi dan bersih.
Intinya, tulis Kartini, mereka harus menunjukkan kecukupan lahiriah demi menjunjung tinggi martabat golongan dibanding mereka yang bergolongan lebih rendah, rakyat jelata.
Akibatnya, kata Kartini, para juru tulis itu akhirnya menerima suap.
Kartini menulis, awalnya saat pertama atau kedua kali diberi setandan pisang oleh penyuap, mereka masih bisa menolak.
Akan tetapi, ketika dicoba diberi untuk ketiga hingga keempat kalinya, mereka mulai bimbang hingga menerimanya tanpa ragu.
"Apa yang saya lakukan ini bukanlah suatu kejahatan, pikirnya. Saya kan tidak minta, saya diberi. Dan memangnya saya gila untuk menolak, kalau saya dapat menggunakan pemberian itu dengan baik," tulis Kartini.
Menurut Kartini, pemikiran seperti itu berbahaya karena dapat merusak moral pejabat.
"Pemberian hadiah itu bukan hanya pernyataan penghormatan, tetapi juga alat pencegah salah suatu kejahatan yang pada suatu hari dapat menimpa pemberi itu dari pihak atasan. Nah, kalau ia ditangkap oleh wedana karena salah satu pelanggaran kecil, maka ia dapat mengharapkan pembelaan dari temannya, juru tulis distrik itu," tulis Kartini.
Setali tiga uang
Kartini mengungkapkan, camat yang secara strata berada di atas juru tulis juga setali tiga uang. Dengan gaji hanya 8,5 frank saat itu, camat harus membayar juru tulis.
Selain itu, seorang camat harus membayar bendi atau dokar lengkap dengan kuda, ditambah biaya memelihara kuda dan kusirnya, harus membeli perabot rumah, lalu mengongkosi rumah tangga.
Belum lagi jika ada asisten residen atau bupati yang datang. Ia harus menginapkannya di penginapan jika rumah sang camat dirasa terlalu jauh atau terlalu jelek.
"Camat mendapatkan kehormatan tertinggi, diperkenankan menyiapkan makan untuk mulut-mulut terkemuka itu. Cerutu, air Belanda, minuman keras, dan makanan cukup mahal, yakinlah, hal itu bagi kepala onderdistrik setingkat mereka merupakan pengeluaran besar," tulis Kartini.
Bahkan, kala itu, sang camat mesti merogoh koceknya sendiri untuk perkara menagkap penjahat.
Para camat terpaksa menggadai perhiasan, menjual perabot, tetapi uang itu tidak digant oleh pemerintah.
"Apa gerangan yang harus dilakukan para pegawai, yang gajinya tidak cukup dan tidak memiliki orang tua atau keluarga yang membantu mereka? Dan rakyat terus saja memberi hadiah, orang melihat anak istrinya berpakaian compang-camping... Jangan menilai keras, Stella."
"Saya tahu kesukaran kepala-kepala Bumiputera: Saya tahu suka duka rakyat. Dan apa yang akan diperbuat pemerintah sekarang...?"
https://nasional.kompas.com/read/2021/05/10/18352291/korupsi-dalam-cerita-kartini