Ia mengatakan, saat ini pemerintah tidak lagi fokus memberikan zonasi warna.
"Pemerintah sebetulnya secara tidak langsung telah mengoreksi pemberian zonasi warna. Pemerintah sudah mulai tidak lagi fokus memberikan zonasi warna di daerah karena itu sebetulnya tidak menjelaskan realita," kata Muhadjir di acara peringatan Hari Konsumen Nasional 2021, Selasa (20/4/2021).
Menurut Muhadjir, jika suatu daerah dinyatakan sebagai zona merah, bakal membuat masyarakat menjadi takut dan panik.
Sebab, kata dia, terdapat pemikiran bahwa zona merah berarti semua orang yang ada di wilayah itu berisiko tinggi terpapar Covid-19.
"Padahal dalam satu kabupaten (wilayah) bisa jadi hanya beberapa kecamatan yang sudah betul-betul ada wabahnya," ujar Muhadjir.
"Dari kecamatan itu kalau ditelisik lebih dalam, mungkin hanya beberapa desa dan dari beberapa desa itu mungkin hanya beberapa keluarga dan keluarga itu pun belum tentu asli dari situ, mungkin juga pendatang yang membawa Covid dari luar," lanjut dia.
Oleh karena itu, kata dia, pendekatan mikro dengan mengidentifikasi kasus di lingkup terkecil kemudian menindaknya merupakan cara penanganan yang cukup efektif.
Muhadjir pun mengakui bahwa pada awal pandemi pemerintah teledor karena menggunakan pendekatan makro dalam penanganannya.
Termasuk tidak mengindahkan rekrutmen tenaga tracer yang kurang untuk menelusuri orang-orang yang sudah terkena Covid-19.
Adapun selama ini pemerintah membagi zonasi daerah yang terpapar Covid-19 ke dalam zona merah, zona zona oranye, zona kuning, dan zona hijau.
Zona merah ditandai sebagai wilayah yang memiliki risiko kasus Covid-19 tinggi, oranye risiko sedang, kuning risiko rendah, dan hijau nol kasus.
https://nasional.kompas.com/read/2021/04/20/13533191/menko-pmk-sebut-pemerintah-koreksi-zonasi-warna-penanda-risiko-covid-19