Hanya 23,7 persen responden yang menyatakan program telah berhasil.
Hal ini bertalian dengan rekaman survei yang menyatakan 23 persen responden menilai kinerja pemerintah dalam memberantas terorisme masih belum baik.
Namun, di sisi lain, responden cenderung terbuka kepada mantan napiter.
Sebanyak 49,9 persen responden menyatakan siap menerima mantan napiter kembali hidup di tengah masyarakat. Sementara itu, 33 persen menyatakan ragu dan 15,7 menyatakan menolak.
Dikutip dari Kompas.id, untuk melawan terorisme, selama ini program deradikalisasi menjadi rumusan yang kerap diutarakan.
Selain langkah yang sifatnya operatif, seperti penangkapan terduga teroris oleh Densus 88 Polri, deradikalisasi juga dijadikan ujung tombak program antiterorisme pemerintah.
Meski demikian, dengan adanya fenomena teror yang melibatkan mantan napiter, muncul pertanyaan soal keampuhan program deradikalisasi.
Data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menunjukkan, sekitar 10 persen dari mantan napiter kembali terlibat aksi teror.
Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pemerintah melakukan program deradikalisasi dalam empat tahapan. Keempat tahapan itu adalah identifikasi dan penilaian, rehabilitasi, reedukasi, dan reintegrasi sosial.
Di tengah berbagai tantangan yang muncul, program deradikalisasi tetap akan menjadi kunci bagi upaya penanganan terorisme.
Publik tentu berharap sikap terbuka masyarakat dalam menerima mantan napiter kasus terorisme semestinya juga diikuti dengan kualitas program deradikalisasi.
Dengan demikian, publik tidak akan merasa khawatir mantan napiter yang sudah menyatu kembali di tengah masyarakat akan kembali melakukan teror.
Survei Litbang Kompas digelar pada pertengahan April 2021 melalui wawancara telepon dengan 520 responden di 34 provinsi. Tingkat kepercayaan survei 95 persen dengan nirpencuplikan penelitian sekitar 4,30 persen.
https://nasional.kompas.com/read/2021/04/19/10300291/litbang-kompas-606-persen-responden-anggap-program-reintegrasi-napi