JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah anggota DPR menjadi relawan dalam pengembangan vaksin Nusantara. Pengambilan sampel darah terkait uji klinik fase II dilakukan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta, Rabu (14/4/2021).
Hal ini menjadi kontroversi lantaran Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) belum mengeluarkan persetujuan pelaksanaan uji klinik (PPUK).
Wakil Ketua Komisi IX DPR Melki Laka Lena mengatakan, penelitian vaksin Nusantara memang sempat terhenti karena belum mendapatkan izin uji klinik dari BPOM.
Namun, kata dia, tim peneliti sudah menyesuaikan pengembangan vaksin dengan rekomendasi dari BPOM.
"Dan sudah peneliti lakukan penyesuaian, sudah pernah diterapkan perbaikan seperti yang dicatatkan BPOM dan karena BPOM hanya memberikan semacam catatan rekomendasi, dan penelitiannya tetap berjalan," kata Melki saat dihubungi, Selasa (13/4/2021).
Tim peneliti vaksin Nusantara terdiri dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan; RSUP Dr Kariadi, Semarang; Universitas Diponegoro, Semarang; dan Aivita Biomedical dari Amerika Serikat.
Pendanaan penelitian vaksin berbasis sel dendritik ini didukung oleh Balitbangkes dan Aivita.
Alasan bantu program vaksinasi
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengungkapkan alasan dirinya bersedia menjadi relawan uji klinik Vaksin Nusantara dengan cara diambil sampel darahnya.
Ia mengatakan, BPOM telah mempersilakan uji klinis fase II vaksin Nusantara dilanjutkan dengan metode yang perlu diperbaiki.
"Yang kedua, proses penelitian, proses yang ada di rumah sakit itu kemudian sudah dipersilakan juga oleh BPOM," kata Dasco, dalam video saat menjawab pertanyaan sejumlah wartawan di Gedung DPR, Jakarta, Rabu.
Menurut Dasco, sebagian anggota Komisi IX dan beberapa komisi lain turut menjadi relawan pengembangan vaksin yang digagas mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto itu.
Dasco meyakini vaksin Nusantara dapat dapat membantu program vaksinasi yang dilaksanakan pemerintah.
Ia juga menilai, vaksin Nusantara dapat mengantisipasi kebijakan embargo di sejumlah negara penghasil vaksin.
"Ini juga bisa sedikit banyak membantu program-program vaksinasi pemerintah. Sehingga dengan adanya vaksin nusantara ini perlu dibantu pemerintah untuk mengurangi kelangkaan vaksin karena embargo," kata Dasco.
Secara terpisah, Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Saleh Partaonan Daulay menyampaikan pendapatnya seusai pengambilan sampel darah.
Saleh mengaku sudah berkonsultasi dengan peneliti asal Indonesia maupun Amerika Serikat terkait vaksin Nusantara.
"Saya sudah berdiskusi dengan para penelitinya. Baik peneliti asal Indonesia, maupun peneliti asal Amerika Serikat. Saya mendapatkan penjelasan utuh terkait Vaksin Nusantara," ujarnya.
Dari hasil diskusi itu, Saleh meyakini vaksin Nusantara baik dan efektif sebagai salah satu upaya meningkatkan imunitas.
Menurut Saleh, vaksin Nusantara sangat berpotensi dikembangkan di Indonesia.
Ia pun berharap, vaksin Nusantara menjadi salah satu contoh produk dalam negeri yang perlu mendapatkan dukungan dan perhatian pemerintah.
"Saya melihat bahwa vaksin Nusantara ini sangat potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Apalagi Presiden Jokowi sudah meminta agar Indonesia mengutamakan produk dalam negeri," ujarnya.
Tak ada kesepakatan kolektif
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi IX Charles Honoris menegaskan, komisinya tidak pernah menetapkan kesepakatan secara kolektif untuk mengikuti uji klinik vaksin Nusantara.
Ia pun menegaskan, anggota Komisi IX yang mengikuti kegiatan itu tidak mewakili komisi.
"Bahwa adanya pimpinan/anggota Komisi IX yang mengikuti vaksinasi itu dilakukan secara pribadi dan tidak mewakili Komisi IX DPR RI," kata Charles dalam siaran pers, Rabu (14/4/2021).
Charles menegaskan, uji klinik vaksin harus dilakukan sesuai aturan yang berlaku dan kaidah-kaidah saintifik.
Sebelumnya, BPOM memaparkan alasan pengembangan vaksin Nusantara belum layak untuk dilanjutkan.
Kepala BPOM Penny Lukito mengatakan, sejumlah syarat belum dipenuhi dalam proses pengembangan vaksin.
Adapun syarat yang belum terpenuhi itu di antaranya, cara uji klinik yang baik (good clinical practical), proof of concept, good laboratory practice, dan cara pembuatan obat yang baik (good manufacturing practice).
Kemudian, salah satu syarat yaitu proof of concept juga belum terpenuhi. Antigen pada vaksin tersebut dinilai tak memenuhi pharmaceutical grade.
Penny juga mengatakan, hasil uji klinis fase I terkait keamanan, efektivitas atau kemampuan potensi imunogenitas untuk meningkatkan antibodi belum meyakinkan.
Atas dasar itu, BPOM memutuskan vaksin Nusantara belum layak dilanjutkan ke uji klinik fase II.
Terkait pengambilan sampel darah di RSPAD, Penny menegaskan hal itu tidak terkait dengan proses yang berlaku di BPOM vaksin tersebut dapat diproduksi secara massal.
"Yang jelas itu (anggota DPR jadi relawan vaksin Nusantara) bukan dalam kaitannya dengan BPOM untuk menjadi produk yang akan bisa dibuat massal," kata Penny saat ditemui di Kantor BPOM, Jalan Percetakan Negara, Jakarta, Rabu.
Ia mengungkapkan, vaksin Nusantara dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan sehingga hal itu menjadi tanggung jawab dokter yang melaksanakannya.
Penny berharap, apa yang dilakukan anggota DPR tersebut tak membuat masyarakat bingung terhadap keberadaan vaksin Nusantara.
"Jadi ya BPOM sudah menyampaikan (hasil uji klinis fase satu), itu kembali ke masing-masing pihak. Hanya mudah-mudahan, dampaknya ke masyarakat jangan membuat bingung dan sebagainya ya dan masyarakat harus pintar untuk bisa menilai dan memilih," ujarnya.
https://nasional.kompas.com/read/2021/04/15/09261541/saat-pimpinan-dan-anggota-dpr-jadi-relawan-penelitian-vaksin-nusantara