PUBLIK ramai mengkritisi desain istana negara selama beberapa hari terakhir. Sekalipun kritik ini baik, namun patut dikhawatirkan bahwa kritik tersebut justru mengaburkan masalah yang lebih esensial, yakni ketepatan kebijakan pemerintah memindahkan ibu kota di kala pandemi.
Benar bahwa pro kontra terhadap wacana ini sudah terjadi beberapa tahun terakhir. Namun keputusan untuk pemindahan ibu kota diambil sebelum pandemi terjadi.
Situasi pandemi yang panjang dan suram seharusnya membuat pemerintah lebih bijak dalam mengambil keputusan, serta semakin menguatkan keyakinan publik untuk mendesakkan pembatalan rencana tersebut.
Mengingat belum lama ini DPR dan pemerintah memasukkan UU Ibu Kota Negara (IKN) ke dalam program legislasi nasional prioritas.
Menguatnya kembali wacana perpindahan ibu kota diawali dari pernyataan Menteri PPN/Bappenas, Suharso Monoarfa (18/3/2021). Ia berujar, “Ibu kota baru siap mulai dibangun pada tahun ini”.
Bahkan, ia memprediksikan, “Presiden sudah akan dapat memimpin upacara kemerdekaan dari sana pada 17/8/2024”.
Padahal, ini bertolak belakang dengan pernyataannya sewaktu Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IX DPR pada 08/9/2020. Kala itu ia mengatakan program pemindahan ibu kota ditangguhkan, karena pemerintah fokus menanggulangi pandemi Covid-19.
Perubahan arah kebijakan ini adalah hal yang ganjil mengingat Indonesia masih belum tampak berhasil mengatasi pandemi.
Merujuk pada data, jumlah masyarakat yang tertular Covid-19 masih meningkat dari waktu ke waktu. Pelaksanaan program vaksinasi juga mendapati aneka kendala sehingga tidak secepat yang dibayangkan.
Merujuk pada data terkini dari Kementerian Kesehatan (06/4/2021), tenaga kesehatan yang sudah divaksin memang berada di kisaran 90 persen ke atas. Namun, petugas publik yang telah divaksin baru dikisaran 33 persen untuk vaksin pertama dan 16 persen untuk vaksin kedua.
Adapun angka vaksinasi lansia masih dibawah 8 persen. Di luar itu, masih banyak masyarakat lain yang belum mendapat giliran vaksin.
Sehingga tidak heran jika John Hopkins University memprediksikan Indonesia memerlukan waktu lebih dari sepuluh tahun untuk memvaksin 75 persen populasi penduduk (The Strait Times, 06/2/2021).
Padahal, Indonesia juga sudah harus bersiap dengan gempuran masalah lanjutan lain. Dilaporkan terdapat varian virus baru yang terus bermunculan di pelbagai penjuru dunia. Ada yang lebih cepat menularkan dan lebih berbahaya, bahkan ada pula varian yang telah masuk ke Indonesia.
Memang telah ada pernyataan dari otoritas terkait bahwa vaksin yang telah ditemukan bisa mengatasi varian virus baru tersebut. Namun, bukankah tidak ada jaminan bahwa vaksin yang Indonesia pesan/produksi akan selalu mampu mengatasi varian virus baru?
Lebih dari itu, para ilmuwan juga belum dapat memberikan jawaban pasti mengenai berapa lama efek vaksinasi dapat bertahan. Dengan lambatnya pelaksanaan vaksinasi dan belum jelasnya durasi perlindungan vaksin, maka mimpi untuk membentuk kekebalan kolektif masyarakat masih berpeluang untuk tidak tercapai.
Singkatnya, situasi kesehatan kita masih belum aman dan diliputi ketidakpastian. Hal ini tentunya juga akan mempengaruhi kondisi ekonomi. Maka, tidak seharusnya pemerintah beralih fokus ke urusan yang tidak mendesak dan terkesan tersier seperti perpindahan ibu kota negara.
Menyepelekan dan tergesa gesa
Anggaran infrastuktur perpindahan ibu kota membutuhkan biaya yang fantastis, sekitar Rp 466 triliun.
Sayangnya, pemerintah terkesan menyederhanakan nominal ini dengan mengatakan bahwa anggaran tersebut tidaklah jumbo, hanya seperlima dari postur anggaran keseluruhan APBN kita yang sebesar Rp 2.500 triliun.
Namun, argumentasi ini masih perlu dikritisi. Apalagi karena seluruh badan publik di level pusat dan daerah dipaksa untuk refocussing dan realocating anggaran untuk penanggulangan Covid-19. Sementara mereka patuh, mengapa justru pemerintah pusat memberikan contoh berbeda?
Apalagi biaya fantastis ini masih mungkin membengkak misalnya untuk alokasi anggaran pemindahan 900.000-an ASN/TNI/Polri, keluarganya dengan segenap perabotannya dari Jakarta ke Kalimantan Timur.
Pemerintah juga terkesan melakukan simplifikasi dengan berkata bahwa pembangunan ibu kota negara tidak akan membebani APBN, karena sebagian pekerjaan akan dilaksanakan dengan mekanisme penugasan BUMN dan skema Kerjasama Pemerintah Badan Usaha.
Faktanya, penugasan BUMN kerap berujung pada Penyertaan Modal Negara pada BUMN tersebut (vide Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 4 ayat (1) Permen BUMN No Per-1/MBU/03/2021). Artinya, akhirnya tetap saja proyek ini akan menyedot anggaran dari APBN.
Jika berkaca kebelakang, wacana pindah ibu kota ini sejatinya merupakan instruksi langsung Jokowi pada tahun 2017 kepada Bambang Brodjonegoro, Menteri PPN/Bappenas kala itu (Majalah Tempo, 11/5/2019).
Instruksi ini terkesan spontan. Buktinya tidak ada rencana pindah ibu kota yang tertuang di dokumen Perpres 02/2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019. Bahkan buku 3 RPJMN tentang agenda pembangunan wilayah justru mendesain Kalimantan sebagai pusat paru paru dunia dan sentra lumbung pangan.
Maka, tidak heran publik menganggap pemerintah gegabah ketika pada tahun 2019 bersikeras memutuskan untuk memindahkan ibu kota.
Bahkan, hasil wawancara peneliti asing dengan beberapa pejabat teras menunjukkan bahwa pejabat terkait sebenarnya juga banyak yang menentang gagasan ini, namun kemudian memilih untuk menjalankannya lebih karena kepatuhan atas arahan Presiden (Bland, 2020).
Katakanlah publik masih bisa memaklumi keputusan Presiden yang tergesa gesa kala itu. Namun mengingat situasi pagebluk dan situasi masa depan yang masih diliputi ketidakpastian, baik kiranya jika Presiden bersikap bijak dengan merevisi keputusan pindah ibu kota, dan berfokus pada urusan yang lebih primer. (*Richo Andi Wibowo, Dosen UGM dengan minat riset kontrak pemerintah dan pencegahan patologi birokrasi)
https://nasional.kompas.com/read/2021/04/12/10462891/bersikeras-pindah-ibu-kota-saat-pagebluk