Menurut Staf Advokasi Kontras Tioria Pretty menyebut sejak lima tahun lalu, melalui Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) sudah membuat 4 tim penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat.
Namun, hasil kerja dari tim tersebut kerap tidak jelas dan justru mendapatkan penyangkalan sendiri dari pemerintah.
“Di tahun 2015, Jaksa Agung mengatakan bahwa pelanggaran HAM berat akan diselesaikan Komite Rekonsiliasi, itu tidak terbuka dan membicarakan penyelesaian di luar hukum. Padahal yang bicara adalah penegak hukum yaitu Jaksa Agung. Jadi ini offside berat,” sebut Pretty dalam diskusi virtual Kontras, Kamis (8/4/2021).
Pada tahun yang sama, sambung Pretty, pemerintah melalui Kejagung, Kemenkopolhukam, dan Kemenkumham membentuk komite pengungkapan kebenaran.
Namun, ia menilai tujuan akhir komite ini sama dengan Komite Rekonsiliasi bentukan Kejagung tadi.
“Ya itu bicara permintaan maaf tanpa adanya langkah lanjutan untuk memastikan pemenuhan keadilan, pengungkapan keadilan, reparasi, keberulangan, dan lain sebagainya,” jelasnya.
Di tahun 2016, pemerintah melalui Menko Polhukam saat itu, Luhut Binsar Pandjaitan mengadakan Simposium Nasional untuk Tragedi 1965.
Pretty bercerita, hasil rekomendasi simposium tersebut menyimpulkan telah terjadi pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh negara, dan negara harus melakukan permintaan maaf pada korban.
“Tapi sayangnya kesimpulan yang dikeluarkan simposium ini diingkari sendiri oleh penggagasnya yaitu Menkopolhukam saat itu Pak Luhut Binsar Pandjaitan,” kata dia.
Pada tahun tersebut, jabatan Menko Polhukam kemudian berganti ke Wiranto. Pretty menuturkan, di era ini Wiranto menginisiasi konsep rekonsiliasi dengan membentuk Dewan Kerukunan Nasional.
“Nah Dewan Kerukunan Nasional ini juga menitikberatkan pada rekonsilasi tanpa pengungkapan kebenaran, juga enggak jelas. Ya rekonsilisiasi tersebut apa, apa yang direkonsiliasi kalau negara tidak mau mengakui apa yang sebenarnya terjadi,” imbuhnya.
Terakhir, di tahun 2018, Wiranto juga membentuk tim terpadu untuk menangani kasus pelanggaran HAM berat.
Meski pemulihan sempat dikatakan dengan membangunkan jalan, masjid, dan berbagai fasilitas untuk para korban pelanggaran HAM berat, Pretty menyebut bahwa itu merupakan kewajiban negara pada semua warga negaranya.
Menurut Pretty, jika mengacu pada teori pemulihan pelanggaran HAM berat, harus ada pengakuan terlebih dahulu bahwa peristiwa yang terjadi adalah kesalahan dari negara.
“Membangun jalan dan masjid itu baik, itu kewajiban negara untuk melakukan itu. Tapi kalau mengacu pada teori pemulihan pelanggaran HAM berat, pemulihan yang ditujukan khusus korban pelanggaran HAM berat disitu ada pengakuan dari negara bahwa apa yang terjadi pada komunitas ini, individu ini, atas kesalahan negara di masa lalu,” pungkas dia.
Sebagai informasi saat ini Kemenkumham sedang menyiapkan unit kerja di bawah Presiden Joko Widodo, untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat.
Unit kerja tersebut bernama Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran HAM Berat (UKP-PPHB).
Pembentukan unit kerja itu sedang dipersiapkan dalam Rancangan Peraturan Presiden sebagai dasar hukum.
Direktur Instrumen HAM Kemenkumham Timbul Sinaga menyebut, fokus utama dari pembentukan UKP PPHB adalah penyeleaian non yudisial pada kasus pelanggaran HAM berat.
Penyelesaian non yudisial yang dimaksud Timbul adalah negara memulihkan hak dari para korban pelanggaran HAM berat.
https://nasional.kompas.com/read/2021/04/09/13224291/kontras-sejak-2015-banyak-tim-bentukan-pemerintah-untuk-selesaikan-kasus-ham