Hal tersebut diutarakannya untuk merespons laporan Bank Indonesia (BI) bahwa utang luar negeri Indonesia pada akhir kuartal IV 2020 tercatat sebesar 417,5 miliar dollar AS atau sekitar Rp 5.803,2 triliun.
"Tidak apa Indonesia berutang, ini tidak masalah. Asal yang paling penting apakah utang itu dipakai untuk kegiatan yang memang produktif dan menghasilkan. Itu yang paling penting," kata Eriko saat dihubungi Kompas.com, Rabu (17/2/2021).
Menurut Eriko, ada tiga hal yang lebih penting diperhatikan yaitu melihat tujuan Indonesia melakukan peminjaman atau utang luar negeri.
Pertama, utang Indonesia digunakan untuk pembangunan infrastruktur.
Pembangunan ini, kata dia, diperlukan agar Indonesia bisa lebih bersaing di tingkat internasional, terutama dalam melakukan kegiatan ekspor.
"Apakah itu dibuat untuk nanti membuat Indonesia lebih bisa bersaing di tingkat internasional. Contohnya kita buat utang itu untuk infrastruktur. Ini kan penting. Kalau tidak dibangun infrastruktur, bagaimana kita mau mengekspor produk kita. Bagaimana kita mau membuat biaya perjalanan, biaya transportasi, biaya akomoasi bisa jadi lebih murah," jelasnya.
Selain itu, Eriko menganggap wajar apabila negara berutang untuk hal-hal yang produktif.
Misalnya, dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia hingga pembangunan kilang minyak dan pembangunan berasaskan sustainable.
Kemudian, hal ketiga yang disebutkannya yaitu berkaitan dengan nilai tambah yang akan didapat Indonesia.
Menurutnya, utang Indonesia wajar apabila dipakai untuk kegiatan yang betul-betul memberikan nilai tambah ke depannya.
"Contohnya, membangun fasilitas-fasilitas yang untuk nanti dipakai Indonesia menunjang negara tujuan pariwisata," terangnya.
"Ini tidak masalah, tetapi kalau hal ini dipakai untuk hal lain. Nah, itu yang harus kita lihat lebih jauh," sambung dia.
Lebih jauh, Eriko berpandangan bahwa laporan BI yang menunjukkan utang luar negeri Indonesia mencapai Rp 5.803,2 triliun masih dalam batas aman atau tidak dalam kondisi lampu merah.
Sebab, ia menilai bahwa utang negara baru dapat dikatakan berbahaya apabila lebih besar daripada produk domestik bruto atau gross domestic product (GDP) negaranya.
Sementara, Eriko mengungkapkan bahwa utang luar negeri Indonesia masih berada di bawah 40 persen.
"Indonesia GDP-nya itu 1,1 triliun dollar AS. Utangnya kurang lebih 400 milyar dollar AS, berarti kurang lebih masih di bawah 40 persen dari GDP. Sedangkan yang dikatakan kondisi itu sudah lampu merah kalau dia sudah di atas 80 persen dari GDP," terang dia.
Oleh karena itu, ia berpandangan bahwa dari segi kriteria atau segi aturan yang dipakai internasional, kondisi utang Indonesia belum termasuk berbahaya.
Eriko membandingkan kondisi utang Indonesia dengan beberapa negara di antaranya Amerika dan Jepang.
Menurutnya, dua negara tersebut memiliki utang di atas 100 persen dari GDP. Untuk beberapa negara Eropa, kata dia, utangnya sudah berada di atas 80 persen.
Sebelumnya, BI melaporkan utang luar negeri Indonesia pada akhir kuartal IV 2020 tercatat sebesar 417,5 miliar dollar AS, atau sekitar Rp 5.803,2 triliun (kurs Rp 13.900 per dollar AS).
Utang luar negeri Indonesia pada akhir kuartal IV 2020 berada pada posisi lebih tinggi dibandingkan akhir kuartal III yang sebesar 413,4 miliar dollar AS.
Besaran utang itu terdiri dari utang luar negeri (ULN) sektor publik pada akhir kuartal IV 2020, yakni pemerintah dan bank sentral, sebesar 209,2 miliar dollar AS atau Rp 2.907 triliun dan ULN sektor swasta termasuk BUMN sebesar 208,3 miliar dollar AS atau Rp 2.895 triliun.
https://nasional.kompas.com/read/2021/02/17/14034721/pimpinan-komisi-xi-tak-apa-indonesia-berutang-asalkan-dipakai-untuk-hal