Alasannya, PPP menilai perubahan UU Pemilu yang relatif cepat akan membuat tidak ada waktu untuk mematangkan demokrasi.
"Tergerus dengan perubahan Undang-Undang Pemilu. Diperlukan kemantapan demokrasi prosedural agar demokrasi substansial memperoleh kesempatan berkinerja," ujar Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa saat dihubungi Kompas.com, Selasa (27/1/2021).
Tak hanya itu, Suharso menilai isu krusial dalam revisi UU Pemilu yakni ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) dan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) masih relevan untuk diterapkan pada pemilu berikutnya.
Ia mengatakan, ambang batas pencalonan presiden sebaiknya tetap 20 persen dan ambang batas parlemen tetap di angka 4 persen.
"Karena kian tinggi ambang batas parlemen, makin tinggi suara rakyat yang tersia-siakan. Ambang batas parlemen 4 persen relatif sudah tinggi," ucapnya.
Bisa hingga empat pemilu
Sebelumnya, Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan menolak langkah DPR dan pemerintah untuk melakukan revisi UU Pemilu.
"PAN berpendapat bahwa UU tersebut belum saatnya untuk direvisi," kata Zulkifli Hasan dalam keterangan tertulis, Senin (25/1/2021).
Menurut Zulkifli, peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini masih sangat baru yaitu secara formal diterapkan dalam kurun waktu 4-5 tahun terakhir.
Oleh karenanya, dia menyatakan, revisi UU Pemilu belum saatnya dilakukan. Meski demikian, beleid tersebut cukup disempurnakan melalui aturan turunan.
"Sejauh ini penyelenggaraan pemilu yang dilakukan dengan payung hukum UU ini berjalan cukup baik. Meskipun tentu ada hal-hal yang perlu disempurnakan di dalam aturan turunannya," ujarnya.
Ia juga meminta sebaiknya pemerintah dan DPR fokus dalam penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional ketimbang membahas revisi UU Pemilu.
"Alangkah indahnya jika energi DPR dan Pemerintah diarahkan sepenuhnya dalam rangka menuntaskan kedua masalah tersebut," ucapnya.
Tak tumpang tindih
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustopa mengatakan, salah satu alasan UU Pemilu harus segera direvisi adalah agar menghindari tumpang tindih dengan UU Pilkada.
Kedua UU tersebut, kata Saan, akan disatukan dalam satu RUU Pemilu.
"Jadi biar dia (UU Pemilu dan UU Pilkada) satu bagian yang terintegrasi," kata Saan usai rapat kerja Komisi II DPR, Selasa (26/1/2021).
Saan mengatakan, semangat dari revisi UU Pemilu untuk dapat digunakan dalam jangka panjang sehingga menghentikan kebiasaan DPR dan pemerintah melakukan revisi setiap menjelang kontestasi Pemilu.
"Kita juga tidak mau ini semacam isu lima tahunan, setiap lima tahun revisi sesuatu yang belum kita uji berapa kali sudah kita revisi. Nah, kita ingin sebenarnya UU Pemilu yang kita bahas itu berlaku untuk beberapa kali pemilu," ujarnya.
Lebih lanjut, Saan mengatakan, revisi UU Pemilu ini diperlukan apabila tidak menginginkan keserentakan Pemilu pada 2024.
Kemudian, untuk menguji sistem pemilu yang saat ini diterapkan, apakah efektif atau tidak, baik dari sirkulasi elite dan kualitas demokrasi.
"Biar sistem yang kita buat sekarang ini diuji efektif atau enggak dalam kerangka tadi misalnya demokrasi, dalam kerangka sirkulasi elit," ujar dia.
Untuk diketahui, revisi UU Pemilu termasuk dalam 33 Draf RUU Prolegnas Prioritas 2021. Revisi UU Pemilu ini diusulkan DPR RI yang tengah dalam proses harmonisasi di Badan Legislasi (Baleg).
https://nasional.kompas.com/read/2021/01/27/08432401/saat-pan-dan-ppp-tolak-revisi-uu-pemilu