Ketidakeseimbangan itu bermula dari selisih yang jomplang antara kapasitas produksi vaksin Covid-19 dan sasaran vaksinasi yang jumlahnya sangat besar.
Sasaran itu merujuk perhitungan kuota ideal sebesar 70 persen jumlah penduduk dunia yang harus menerima vaksinasi. Hal ini dilakukan untuk bisa mencapai herd immunity (kekebalan komunitas) di dunia.
"This is a very big problem di dunia. Jadi WHO itu sudah pusing. Karena itu tadi penduduk dunia 7,8 miliar. Sementara kalau 70 persen (yang harus) divaksin itu setara 5,5 miliar," ujar Budi dikutip dari acara " Vaksin dan Kita" yang diselenggarakan Komite Pemulihan dan Transformasi Ekonomi Daerah Jawa Barat, yang ditayangkan kanal YouTube PRMN SuCi, Jumat (22/1/2021).
Jika 5,5 miliar warga dunia itu membutuhkan dua kali suntikan vaksinasi, maka dibutuhkan 11 miliar dosis vaksin. Sementara itu, produksi vaksin di dunia hanya bisa mencapai 6,2 miliar dosis.
"Padahal 6,2 dosis ini juga (digunakan) untuk (produksi) vaksin TBC, polio, rubela dan sebagainya. Kan tidak mungkin itu kita berhentikan ya," ungkapnya.
Sehingga, apabila diperkirakan dengan perhitungan secara umum, kuota yang bisa digunakan untuk memproduksi vaksin Covid-19 adalah sebanyak setengah dari 6,2 juta dosis.
Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan 11 miliar vaksin bagi 70 persen warga dunia tadi dibutuhkan waktu produksi setidaknya 3,5 tahun.
Budi mengungkapkan, kondisi ini menyulitkan sejumlah negara yang cukup terlambat dalam merespons ketersediaan vaksin Covid-19 di dunia.
"Jadi bayangkan negara-negara yang terlambat berpikir itu, begitu ada vaksin lalu dia pesan, ya menanti 3,5 tahun," ungkapnya.
Dia lantas mengungkapkan, dengan kondisi produksi vaksin Covid-19 yang masih terbatas itu, negara-negara kaya dan maju sudah memesan terlebih dulu.
Budi menyebut negara-negara besar sudah memakai sistem ijon atau memesan terlebih dulu kandidat vaksin yang belum jadi. Sehingga setelah vaksin tersedia, bisa langsung diberikan kepada negara-negara itu.
"Karena ini sudah di-ijon negara maju, negara kaya semua. Amerika Serikat empat kali populasi, Kanada enam kali populasi, sudah ijon semua," tutur Budi.
"Nah itu jadi problem di WHO karena penumpukan di negara maju dan kaya dan terjadi ketidakseimbangan," lanjutnya.
Melihat kondisi itu, Budi mengaku bersyukur karena pengadaan vaksin Covid-19 untuk Indonesia bisa berlangsung lancar dan cepat.
Budi menjelaskan, saat ini kebutuhan vaksin untuk 181 juta penduduk Indonesia sebesar 426 juta dosis.
Sementara itu, pemerintah sudah mampu mengamankan sebanyak 325 juta dosis vaksin.
Kemudian, pemerintah juga memiliki opsi pengadaan vaksin sebesar 300 juta dosis vaksin.
"Jadi kita sudah punya secure production facility yang (sekitar) 600 juta dosis. Kenapa ada opsi? Karena salah satu sumber kita itu multilateral dari GAVI," ungkap Budi.
GAVI merupakan kemitraan kesehatan global publik dan swasta yang bertujuan meningkatkan akses imunisasi di negara-negara miskin. GAVI terafiliasi dengan WHO.
Menurut Budi, opsi pengadaan vaksin dengan GAVI bersifat gratis. Namun, kuota yang disediakan belum pasti.
"Jadi antara 18 juta dosis sampai 100 juta dosis," ujar Budi.
Apabila distrbusi dari GAVI mampu menyediakan sekitar 100 juta dosis, maka sisa kuota untuk kebutuhan vaksin Covid-19 sudah terpenuhi.
Namun, apabila ketersediaan dari GAVI tidak sampai 100 ribu dosis, pemerintah akan mengupayakan tambahan dari proses pembelian kerja sama bilateral dengan sejumlah produsen vaksin di dunia.
Vaksin mandiri
Di tengah kekhwatiran tak meratanya distribusi vaksin, Pemerintah Indonesia justru membuka peluang vaksinasi Covid-19 secara mandiri.
Wacana tentang vaksinasi mandiri diungkapkan BUdi pada saat rapat dengar pendapat di DPR beberapa waktu lalu.
Dalam kesempatan itu, Budi juga sempat mengatakan, pemerintah akan membuka opsi vaksinasi Covid-19 secara mandiri oleh perusahaan kepada karyawannya.
Perusahaan akan diizinkan membeli vaksin sendiri dengan produsen vaksin Covid-19. Syaratnya, vaksin tersebut harus sesuai dengan yang diiizinkan WHO.
Data penerima vaksin juga harus dilaporkan kepada pemerintah sehingga tidak ada tumpang tindih vaksinasi.
Penggagas koalisi LaporCovid-19 Irma Hidayana mengatakan, penyelenggaraan vaksinasi mandiri akan menimbulkan rasa ketidakadilan bagi masyarakat.
"Menurut kami ide ini sangat buruk. Dari amanat Pancasila saja, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, akses vaksin merupakan bagian dari keadilan yang harus kita upayakan," kata Irma, saat dihubungi, Jumat (22/1/2021).
Menurut Irma, pandemi Covid-19 telah berdampak sangat dalam, terutama terhadap masyarakat miskin.
Ia mencontohkan soal tes usap atau swab test PCR mandiri yang belum bisa diakses oleh seluruh lapisan masyarakat, karena harganya yang cukup mahal.
Irma mengatakan, ketimpangan semacam ini tidak boleh berlanjut dalam program vaksinasi Covid-19.
Sementara itu, pakar Sosiologi bencana Nanyang Technological University (NTU) Singapura Sulfikar Amir, mengatakan secara vaksinasi mandiri tidak etis dilakukan. Sebab bisa berpotensi mengambil jatah vaksin orang lain.
"Secara etika ini tidak etis sebab dia mengambil jatah orang lain," lanjutnya.
Sulfikar pun mengingatkan bahwa vaksinasi mandiri bersifat komersial. Sehingga, idealnya vaksin yang digunakan pun sudah komersial.
Apabila kondisinya demikian, dia menyebut idealnya vaksinasi secara mandiri dilakukan pada 2022 ketika ketersediaan vaksin sudah mulai banyak beredar di pasaran.
https://nasional.kompas.com/read/2021/01/23/06000041/menkes-budi-bicara-kekhawatiran-who-soal-ketimpangan-distribusi-vaksin-covid
Dapatkan informasi dan insight pilihan redaksi Kompas.com
Daftarkan EmailPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & Ketentuan