Sebabnya, vaksinasi dilakukan secara masif oleh dua pihak sekaligus yakni pemerintah kepada masyarakat dan korporasi kepada karyawannya.
Dengan demikian pencapaian target herd immunity sebesar 70 persen dari total penduduk Indonesia atau sebanyak 182 juta penduduk Indonesia bisa segera tercapai.
Wacana vaksinasi mandiri kali pertama muncul dalam rapat kerja antara Menteri Kesehatan dengan Komisi IX di DPR.
Ketika itu Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, pemerintah membuka opsi vaksinasi Covid-19 mandiri. Namun begitu, vaksinasi mandiri itu bukan perorangan, melainkan melalui perusahaan untuk para karyawannya.
"Bolehnya untuk korporasi. Jadi dengan syarat satu, korporasi mau beli, dengan syarat semua karyawannya mesti dikasih," ujar Budi dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR, Kamis (14/1/2021).
Budi menuturkan, perusahaan akan diizinkan membeli vaksin sendiri dengan produsen vaksin Covid-19. Dengan demikian, harapannya vaksinasi Covid-19 dapat berjalan lebih cepat.
"Mungkin itu bisa kita berikan (izin). Saya lihat kalau seperti ini sebaiknya pengadaannya di luar pemerintah saja, pengadaannya bisa dilakukan oleh swasta dan mereka bisa pengadaan sendiri," kata dia
Syaratnya, vaksin Covid-19 yang dibeli harus sesuai dengan yang diiizinkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Selain itu, data penerima vaksin juga harus dilaporkan kepada pemerintah sehingga tidak ada tumpang tindih.
"Vaksinnya harus ada di WHO, harus di-approve oleh BPOM. Dan datanya harus satu dengan kita (pemerintah), karena saya tidak mau nanti datanya berantakan lagi," ucap Budi.
Kendati begitu, Budi menegaskan opsi ini masih dalam diskusi dan belum final. Ia mengatakan, pemerintah berupaya melaksanakan program vaksinasi secara adil dan merata bagi seluruh masyarakat.
"Itu belum final. Itu masih dalam diskusi, karena kami takutnya sensitif kalau misalnya tidak ditata dengan baik. Kami welcome diskusikan itu," kata dia.
Semakin menguat
Esoknya, dukungan terhadap opsi vaksinasi Covid-19 mandiri datang dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Wakil Ketua Umum PB IDI Slamet Budiarto menilai, opsi vaksinasi Covid-19 mandiri memang harus ada.
Opsi itu bertujuan mempercepat proses vaksinasi Covid-19. Bahkan, Slamet menilai opsi vaksinasi Covid-19 mandiri, seharusnya tidak hanya berlaku untuk karyawan melalui perusahaan seperti yang tengah direncanakan pemerintah.
"Mau karyawan mau pribadi harus ada opsi mandiri. Kalau tergantung pada pemerintah nanti birokrasinya terlalu lama. Nanti cakupannya tidak cepat. Nanti berapa juta tidak tercapai," kata Slamet saat dihubungi Kompas.com, Jumat (15/1/2021).
Untuk itu, ia berpendapat vaksinasi Covid-19 mandiri harus dimungkinkan oleh pemerintah. Slamet melihat, selama ini ada vaksinasi Covid-19 gratis yang akan dijalankan pemerintah.
Dengan demikian, menurutnya kabar bahwa pemerintah akan membuka opsi vaksinasi Covid-19 mandiri merupakan pilihan bagi masyarakat.
"Ada yang gratis, ada yang mandiri. Itu pilihan. Ini kan untuk mempercepat. Kalau tidak ya nanti lama. Ini kan ada masanya vaksin, ada yang 6 bulan, ada yang per tahun. Jangan sampai melewati itu," jelasnya.
Menurut Slamet, apabila waktu yang dibutuhkan pemerintah untuk mencapai 70 persen penduduk yang divaksinasi cukup lama, maka dengan vaksinasi secara mandiri akan membantu memenuhi kuota penduduk yang harus divaksinasi.
Sehingga, target mencapai kekebalan komunitas (herd immunity) bisa dicapai secepat-cepatnya.
"Jadi semakin cepat selesai (vaksinasi) semakin baik. Misalnya ada 180 juta penduduk yang harus divaksin, jika selesai lebih cepat maka tak perlu booster (penguat) sehingga sudah bisa tercapai herd immunity," tutur Slamet.
Namun, Slamet memberikan saran kepada pemerintah atas wacana vaksinasi mandiri. Dia menyebutkan, yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah mengendalikan harga vaksinasi mandiri.
"Seperti mengendalikan tes antigen/rapid/PCR. Bisa saja bisnis , tapi harus dikendalikan, pemerintah harus menentukan batas atas vaksinasi mandiri," ucap Slamet.
Respons pemerintah
Adapun Presiden Joko Widodo juga mendukung opsi vaksinasi Covid-19 secara mandiri. Ia mengatakan, vaksinasi mandiri dapat mempercepat penanganan pandemi Covid-19.
"Kita memang perlu mempercepat, perlu sebanyak-banyaknya, apalagi biayanya ditanggung oleh perusahaan sendiri. Kenapa tidak?," tuturnya.
Menurut Jokowi, jika vaksinasi mandiri direalisasikan, merk vaksin yang akan digunakan kemungkinan berbeda dari vaksin yang digratiskan pemerintah.
Ada kemungkinan pula vaksinasi dilakukan di tempat yang berbeda dengan yang telah pemerintah tentukan. Namun demikian, Jokowi menegaskan bahwa hal ini masih menjadi wacana dan belum diputuskan.
"Sekali lagi harus kita kelola isu ini dengan baik," kata dia.
Hal senada disampaikan Menteri BUMN Erick Thohir. Kendati demikian Erick menyatakan, vaksin gratis menjadi prioritas pemerintah di samping wacana vaksinasi mandiri.
“Tentu vaksin mandiri bukan prioritas, vaksin gratis adalah prioritas yang diutamakan tetapi kita tidak bisa menutup mata juga, vaksin mandiri ini juga diperlukan,” kata Erick dalam rapat kerja bersama Komisi VI DPR, Rabu (20/1/2021).
Terkait vaksin mandiri, Erick mengaku telah berbicara dengan berbagai pihak, termasuk DPR dan kementerian terkait. Ia mengatakan, jika nantinya ada vaksin mandiri, ada beberapa catatan dari Komisi VI DPR kepada pemerintah.
“Satu, vaksinnya berbeda jenis, jadi supaya yang gratis dan mandiri tidak tercampur, jadi merek vaksinnya berbeda,” kata Erick.
“Yang kedua, utamakan vaksin gratis, jadi vaksin gratis harus berjalan, ke depan baru nanti kalau ada yang mandiri setelah itu,” kata dia.
Erick mengatakan, sebenarnya dalam surat keputusan (SK) Kementerian Kesehatan sudah ada penjelasan tentang perbedaan vaksin gratis dengan yang mandiri. Kementerian BUMN, menurut dia, tinggal menerapkannya saja bisa berjalan atau tidak.
“Kalau memang nanti vaksin mandiri ini ada, ya kami siap melaksanakan,” ucap dia.
https://nasional.kompas.com/read/2021/01/21/11343021/opsi-vaksinasi-covid-19-mandiri-yang-semakin-menguat