JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) mempertanyakan putusan peninjauan kembali (PK) yang dijatuhkan Mahkamah Agung kepada Fahmi Darmawansyah, terpidana kasus suap eks Kepala Lapas Sukamiskin Wahid Husein.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menilai, setidaknya ada dua argumentasi yang tidak masuk akal dalam putusan yang membuahkan pengurangan hukuman bagi Fahmi tersebut.
"Putusan ini sangat tidak masuk akal, selain karena pengurangan hukuman, juga menyangkut argumentasi yang dijadikan dasar permohonan PK itu diterima oleh Mahkamah Agung," kata Kurnia, Jumat (11/12/2020).
Argumentasi tak logis pertama yang dimaksud Kurnia adalah ketika majelis hakim menyebut warga binaan lain memiliki fasilitas yang sama di dalam lapas, sehingga putusan yang dijatuhkan kepada Fahmi bertentangan dengan prinsip perlakuan yang sama.
Menurut Kurnia, pertimbangan tersebut janggal karena penindakan yang dilakukan KPK berdasarkan adanya laporan masyarakat.
"Jika laporan masyarakat tersebut berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Fahmi Darmawansyah, bagaimana mungkin KPK dapat menindak pihak lain?" ujar Kurnia.
Lagi pula, tambah dia, KPK bekerja berlandaskan alat bukti sehingga tidak mungkin bagi KPK menindak pihak lain jika alat buktinya belum cukup.
Kedua, Kurnia mempertanyakan alasan majelis hakim menyebut pemberian mobil Mitsubishi Triton yang diminta oleh Wahid bukan dikehendaki atas niat jahat Fahmi, melainkan karena sifat kedermawanan.
"Titik fatal pertimbangan putusan ada pada poin ini, bagaimana mungkin pemberian barang terhadap Kepala Lembaga Pemasyarakatan yang dilakukan oleh warga binaan dianggap sebagai sifat kedermawanan?" ujar Kurnia.
Menurut Kurnia, perbuatan Fahmi tersebut jelas-jelas merupakan tindak pidana suap atau setidak-tidaknya dikategorikan sebagai gratifikasi.
Kurnia mengatakan, MA mesti menjelaskan logika di balik putusan PK tersebut.
Jika tidak, putusan itu akan mencoreng rasa keadilan di tengah masyarakat dan semakin menurunkan derajat kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.
Diberitakan, MA mengabulkan PK yang diajukan Fahmi dan menyunat hukuman Fahmi dari 3,5 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 4 bulan kurungan menjadi 1,5 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan.
Dalam putusan tersebut, majelis hakim PK membeberkan sejumlah pertimbangan.
Salah satunya terkait pemberian mobil Mitsubishi Triton seharaga Rp 427 juta oleh Fahmi kepada Wahid yang dinilai tidak dilandasi oleh niat jahat untuk memperoleh fasilitas di Lapas Sukamiskin.
Diketahui, saat itu Fahmi mendekam di Lapas Sukamiskin setelah divonis bersalah dalam kasus suap terhadap pejabat Badan Keamanan Laut.
Menurut majelis hakim PK, pemberian mobil yang tidak dilandasi niat jahat itu sesuai dengan fakta persidangan berupa keterangan saksi Andri Rahmat, saksi Wahid Husein, dan keterangan terdakwa.
"Yang pada pokoknya bahwa pemberian mobil tersebut bukan dikehendaki (niat jahat) Terpidana/Pemohon untuk mempengaruhi Kepala Lapas agar dapat memperoleh fasilitas dalam Lapas yang bertentangan dengan kewajiban Kepala Lapas," tulis majelis hakim PK dalam pertimbangan putusan yang diunduh dari situs Direktori Putusan MA, Selasa (8/12/2020).
Menurut majelis hakim PK, merujuk pada fakta persidangan, pemberian mobil tersebut berawal dari pembicaraan antara Andri dan Wahid di ruang kerjanya pada April 20218.
Saat itu, Wahid mengungkapkan ingin memiliki mobil tersebut dan keesokan harinya Andri menyampaikan kepada Fahmi bahwa Wahid meminta mobil Mitsubishi Triton.
"Yang kemudian Pemohon Peninjauan Kembali menyetujuinya untuk membelikan mobil tersebut bukan karena adanya fasilitas yang diperoleh Pemohon melainkan karena sifat kedermawanan Pemohon," tulis majelis hakim PK.
https://nasional.kompas.com/read/2020/12/11/15350521/icw-anggap-alasan-ma-sunat-hukuman-penyuap-eks-kalapas-sukamiskin-tidak