Sebabnya, pernyataan Benny yang mendeklarasikan pemerintahan sementara Papua Barat menuai kecaman keras dari Pemerintah Indonesia.
Tak tanggung-tanggung, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebut tindakan Benny itu sebagai makar.
Negara Papua Barat hanyalah negara ilusi, kata Mahfud.
"Menurut kami, Benny Wenda ini membuat negara ilusi. Negara yang tidak ada dalam faktanya," ujar Mahfud dalam konferensi pers di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (3/12/2020).
Tak hanya kali ini Benny Wenda dikecam oleh para pejabat pemerintahan.
Pada September 2019, Benny juga mendapat kecaman lantaran dituduh sebagai dalang kerusuhan di Papua dan Papua Barat.
Kerusuhan tersebut merupakan buntut dari tindakan rasialisme yang dilakukan anggota TNI terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur.
Kala itu tudingan Benny Wenda sebagai dalang kerusuhan di Papua dan Papua Barat datang dari Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko.
Kiprah Benny Wenda dalam merdekakan Papua
Lantas, siapa sosok Benny Wenda yang tindak-tanduknya kerap menuai kecaman dari Pemerintah Indonesia?
Benny merupakan seorang putra Papua yang lahir pada 17 Agustus 1974. Sejak dulu, Benny sudah dekat dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Terlebih sang kakak, Matias Wenda, merupakan pemimpin OPM di Pegunungan Tengah, Papua.
Pada 2001, Benny diduga terlibat dalam aksi penyerangan Polres Abepura. Bekerja sama dengan sang kakak, Benny turut mengerahkan sekitar 500 warga Jayawijaya ke perbatasan Jayapura-Papua Nugini dengan alasan keamanan di Jayapura tidak terjamin.
Kelompok ini juga melakukan pembantaian terhadap enam warga pendatang pekerja kayu di perbatasan RI-Papua Nugini pada Desember 2001.
Kemudian, pada 2002, Benny Wenda ditangkap polisi lantaran dituding menghasut masyarakat dan memimpin sejumlah pertemuan gelap untuk menyerang pos-pos TNI/Polri pada Juni 2002.
Lalu, pada 29 Oktober 2002, Benny Wenda melarikan diri dari ruang tahanan dengan mencongkel jendela kamar mandi. Benny diduga melarikan diri ke Papua Nugini hingga kemudian melanjutkan perjalanan ke Inggris.
Tak lama kemudian, pada 2003, Benny memperoleh suaka dari Pemerintah Inggris dan menetap di sana bersama keluarganya.
Lama menetap di Inggris membuat Benny memiliki jaringan internasional yang luas. Dia bahkan pernah bertemu Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Pemerintah Vanuatu-lah yang ketika itu memfasilitasi tokoh pembebasan Papua Barat itu untuk bertemu Komisi Tinggi HAM PBB.
Pertemuan terjadi di sela kunjungan kehormatan delegasi Vanuatu ke kantor KTHAM pada Jumat, 25 Januari 2019.
Kehadiran Benny Wenda ternyata mengejutkan KTHAM karena pembahasannya berbeda dengan tujuan kedatangan delegasi Vanuatu ke kantor KTHAM, yakni untuk membahas pelaksanaan Universal Periodic Review (UPR) HAM Vanuatu.
Ditambah pula, Benny Wenda tidak tercatat sebagai delegasi resmi Vanuatu.
Pemerintah Indonesia pun meradang dengan melayangkan protes keras terhadap Pemerintah Vanuatu.
Dapat penghargaan
Tak hanya di situ, jejaring internasional Benny Wenda semakin berkembang lewat penghargaan yang ia terima dari Dewan Kota Oxford pada 17 Juli 2019.
Dalam penghargaan tersebut, Benny dinobatkan sebagai pelaku kampanye damai untuk demokrasi.
Pemerintah Indonesia kembali meradang saat mengetahui Benny Wenda menerima penghargaan tersebut.
Menurut Pemerintah Indonesia, penghargaan itu bertolak belakang dengan apa yang selama ini dilakukan Benny Wenda untuk memisahkan Papua Barat dari NKRI.
"Indonesia mengecam keras pemberian award oleh Dewan Kota Oxford kepada seseorang bernama Benny Wenda, pegiat separatisme Papua yang memiliki rekam jejak kriminal di Papua," tulis Kemenlu dalam keterangan tertulis yang merespons pemberian penghargaan tersebut.
https://nasional.kompas.com/read/2020/12/04/09504831/sepak-terjang-benny-wenda-pemimpin-ulmwp-yang-berilusi-kemerdekaan-papua