Sejumlah fraksi di DPR menilai ketentuan yang diatur dalam RUU Ketahanan Keluarga tidak mendesak. Bahkan, substansi RUU Ketahanan Keluarga dinilai sudah diatur dalam undang-undang yang lain yang berkaitan dengan keluarga.
Meski para pengusul RUU ini yaitu anggota Baleg DPR Netty Prasetiyani (PKS), Ledia Hanifah (PKS), Ali Taher (PAN) dan Sodik Mudjahid (Partai Gerindra) sudah melakukan perbaikan terhadap isi RUU tersebut, namun sejumlah fraksi menilai RUU tersebut masih mengintervensi kehidupan pribadi masyarakat.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Golkar Nurul Arifin mengatakan, aturan yang dimuat di dalam RUU Ketahanan Keluarga belum urgen dibutuhkan masyarakat.
Sebab, sejumlah aturan yang dimuat di dalam RUU Ketahanan Keluarga sudah disinggung dalam Undang-Undang lain seperti UU Perkawinan dan UU Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera.
Nurul juga mengatakan, RUU Ketahanan Keluarga terlalu masuk dalam ranah privat warga negara dengan memperkuat Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Ia mengakui, upaya untuk memperkuat BKKBN adalah langkah yang baik. Namun, Nurul mengajak seluruh koleganya di Baleg untuk mempertimbangkan ulang ketentuan tersebut.
Tak menjawab
Sementara itu, Anggota Baleg Fraksi PKB Neng Eem Marhamah Zulfa Hiz menilai, RUU Ketahanan Keluarga belum menjawab permasalahan keluarga.
Ia mencontohkan, salah satu permasalahan dalam keluarga adalah adanya kekerasan seksual yang dialami anak-anak dan remaja.
"Saya lihat kalau RUU ini misalnya disahkan, tidak bisa menyelesaikan masalah tadi yang saya ungkap. Padahal, itu benar-benar kasus seperti itu banyak terjadi di seluruh Indonesia," kata Eem dalam rapat Baleg terkait harmonisasi RUU Ketahanan Keluarga secara virtual, Selasa.
Berdasarkan hal tersebut, Eem berpandangan, RUU yang lebih mendesak untuk segera dibahas di DPR adalah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) karena RUU tersebut memiliki aturan yang dapat menyelesaikan masalah dalam kasus yang dicontohkannya.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) dari Fraksi PDI-P Putra Nababan menilai, sistem informasi yang diatur dalam Pasal 55 RUU Ketahanan Keluarga akan menimbulkan kegelisahan di masyarakat.
Sebab, dalam Pasal 55 tersebut menyatakan bahwa pemerintah pusat dan daerah memiliki kewenangan memonitoring data keluarga dan mengakses informasi apapun yang mereka perlukan.
Kewenangan ini, menurut Putra, rentan disalahgunakan dan mudah terjadinya kebocoran data.
Tak hanya memonitor data, Putra mengatakan, Pasal 55 tersebut memberikan akses kepada pemerintah pusat dan daerah untuk mengumpulkan, mengelola hingga menyebarluaskan data keluarga.
Aturan tersebut, menurut Putra, akan menyebabkan permasalahan privat keluarga dapat diketahui orang lain.
"Tidak hanya masalah utama keluarga tetapi data potensi keluarga dengan sangat terbuka direkam pemerintah. Bahkan, keluarga tahu saya lagi ada masalah sama istri," ujar Putra.
Berdasarkan hal tersebut, ia meminta, substansi dalam RUU Ketahanan Keluarga perlu diperdalam kembali oleh para pengusul.
Salah satu perbaikan itu adalah pasal-pasal terkait pelaku LGBT dan sadisme dan masokisme atau bondage and discipline, sadism and masochism (BDSM) tidak diatur dalam RUU Ketahanan Keluarga.
"UU ini tidak mengatur tentang LGBT dan lain lain. Saya kira nanti ada UU yang mengatur khusus tentang hal tersebut," kata Sodik dalam rapat Baleg terkait harmonisasi RUU Ketahanan Keluarga secara virtual, Selasa.
Sodik menegaskan, dasar penyusunan RUU Ketahanan Keluarga ini bukan berdasarkan agama tertentu, tetapi mengacu pada Pancasila dan UU terkait.
Sementara itu, anggota Baleg DPR dari Fraksi PKS sekaligus pengusul RUU Ketahanan Keluarga, Ledia Hanifah mengatakan, RUU Ketahanan bertujuan agar pemerintah dapat memberikan fasilitas bagi keluarga yang rentan memiliki masalah.
"Apakah itu mungkin ekonomi, pendidikan, narkoba, itu menjadi bagian yang menurut kami ini adalah hak masyarakat, hak-hak keluarga. Sehingga dengan rencana pembangunan ketahanan keluarga itu pemerintah ketika membuat kebijakan memperhatikan aspek keluarga," kata Ledia dalam rapat Baleg terkait harmonisasi RUU Ketahanan, Senin (16/11/2020).
Ledia juga mengatakan, RUU Ketahanan Keluarga berbeda dengan UU yang lain seperti UU Perkawinan.
Ia menjelaskan, RUU tersebut membahas mengenai sistem keluarga sementara UU Perkawinan mengatur tentang individu dengan individu lain.
Berdasarkan dinamika yang terjadi dalam rapat tersebut, Wakil Ketua Baleg DPR Willy Aditya meminta, masukan yang disampaikan anggota Baleg dapat menjadi catatan bagi para pengusul.
Willy mengatakan, pengambilan keputusan atas RUU Ketahanan Keluarga akan digelar dalam rapat pleno yang digelar pada Rabu (18/11/2020).
"Besok kita pleno setelah raker jam 13.00, jam 17.00 kita rapat pleno pengambilan keputusan RUU Ketahanan Keluarga," kata Willy sambil menutup rapat Baleg terkait harmonisasi RUU Ketahanan Keluarga secara virtual, Selasa (17/11/2020).
https://nasional.kompas.com/read/2020/11/18/07505421/polemik-ruu-ketahanan-keluarga-di-dpr