JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah disarankan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk memperbaiki kesalahan pengetikan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Menurut Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar, penerbitan perppu lebih baik ketimbang melakukan perbaikan dengan menggunakan istilah distribusi II.
"Jadi lebih baik Perppu daripada membuat logika baru menyerahkan ke presiden dan DPR untuk melakukan perubahan bahkan, keluar istilah distribusi tahap II yang saya tidak temukan dalam UU manapun," kata Zainal dalam diskusi virtual bertajuk Anotasi Hukum UU Cipta Kerja, Pemaparan Kertas Kebijakan FH UGM atas UU Cipta Kerja, Jumat (6/11/2020).
Zainal mengatakan, penerbitan Perppu bisa dilakukan Presiden dengan alasan adanya kebutuhan mendesak.
Intinya, menurut Zainal, perbaikan kesalahan pengetikan tersebut harus sesuai prosedur untuk menjaga keadilan bagi masyarakat.
"Poinnya adalah prosedural itu penting, hal yang teknis itu jangan dianggap teknis saja, tapi itu penting karena itu menjaga fairness dari negara, berhadapan dengan warganya," ujar Zainal.
Di samping itu, Zainal menilai, mustahil kesalahan dalam UU Cipta Kerja terjadi karena kesalahan pengetikan.
Sebab, kata Zainal, Pasal 6 yang ditemukan salah ketik itu, tidak mengalami kekeliruan dalam draf RUU Cipta Kerja versi 905 halaman.
"Jadi apakah itu praktik salah ketik? Bukan, itu praktik dari gejala hapus menghapus pasal pasca-persetujuan, karena itu pelanggaran formil yang sangat luar biasa enggak mungkin itu dikatakan salah ketik," ucapnya.
Lebih lanjut, Zainal mengatakan, salah ketik dalam pembuatan UU juga pernah terjadi. Namun, ia berharap kesalahan tersebut tidak dijadikan contoh dalam memperbaiki salah ketik dalam UU Cipta Kerja.
"Saya ingat ada perkataan bahwa ini pernah tadi juga di masa lalu. Tetapi kesalahan di masa lalu itu tidak boleh dibenarkan pada masa sekarang, yang harus kita lakukan adalah perbaikan," pungkasnya.
Sebelumnya, Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengatakan, kekeliruan pengetikan dalam Undang-Undang (UU) No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja hanya sebatas permasalahan administrasi.
Ia memastikan kesalahan pengetikan itu tidak memengaruhi implementasi UU Cipta Kerja.
"Hari ini kita menemukan kekeliruan teknis penulisan dalam UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Namun, kekeliruan tersebut bersifat teknis administratif sehingga tidak berpengaruh terhadap implementasi UU Cipta Kerja," kata Pratikno dalam keterangan tertulis, Selasa (3/11/2020).
Ia menambahkan, sedianya setelah menerima berkas RUU Cipta Kerja dari DPR, Kementerian Sekretariat Negara telah melakukan peninjauan dan menemukan sejumlah kekeliruan yang bersifat teknis.
Kementerian Sekretariat Negara juga telah menyampaikan kepada Sekretariat Jenderal DPR untuk disepakati perbaikannya.
"Kekeliruan teknis ini menjadi catatan dan masukan bagi kami untuk terus menyempurnakan kendali kualitas terhadap RUU yang hendak diundangkan agar kesalahan teknis seperti ini tidak terulang lagi," tutur dia.
Adapun berdasarkan penelusuran Kompas.com, Selasa (3/11/2020), ditemukan kesalahan ketik pada Pasal 6 di Bab Peningkatan Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha.
Pasal 6 menyebutkan, peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat (1) huruf a meliputi (a) penerapan perizinan berusaha berbasis risiko; (b) penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha; (c) penyederhanaan perizinan berusaha sektor; dan (d) penyederhanaan persyaratan investasi.
Namun, rujukan ke Pasal 5 ayat (1) tidak jelas karena dalam UU Cipta Kerja Pasal 5 tidak memiliki ayat.
Pasal 5 hanya mengatur, ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang terkait.
Kemudian, ada pula kesalahan ketik dalam Pasal 175 di Bab Pelaksanaan Administrasi Pemerintahan untuk Mendukung Cipta Kerja.
Pasal 175 angka 6 mengubah Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan Nomor 30 Tahun 2014. Pasal 53 itu terdiri atas 5 ayat yang mengatur soal syarat sah keputusan pemerintahan.
Ayat (1) mengatur, batas waktu kewajiban untuk menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan diberikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Ayat (2), jika ketentuan peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas waktu kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan dan/atau pejabat pemerintahan wajib menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan dalam waktu paling lama 5 hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan.
Ayat (3), dalam hal permohonan diproses melalui sistem elektronik dan seluruh persyaratan dalam sistem elektronik dan seluruh persyaratan dalam sistem elektronik telah terpenuhi, sistem elektronik menetapkan keputusan dan/atau tindakan sebagai keputusan atau tindakan badan atau pejabat pemerintahan yang berwenang.
Ayat (4), apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), badan dan/atau pejabat pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan, permohonan dianggap dikabulkan secara hukum.
Ayat (5), ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan keputusan dan/atau tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Presiden.
Semestinya, ketentuan dalam ayat (5) merujuk pada ayat (4), bukan pada ayat (3).
https://nasional.kompas.com/read/2020/11/06/18183401/perbaikan-salah-ketik-uu-cipta-kerja-pakar-hukum-sebaiknya-terbitkan-perppu