Presiden KSPI Said Iqbal dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (3/11/2020) meminta UU Cipta Kerja tetap membatasi lima jenis pekerjaan yang diperbolehkan menggunakan tenaga kerja outsourcing.
"KSPI meminta penggunaan tenaga kerja outsourcing hanya dibatasi 5 jenis pekerjaan saja sebagaimana diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003," kata Said.
Lantas mengapa Said menyuarakan hal tersebut?
Kata dia, dalam UU Cipta Kerja yang diteken Presiden Jokowi pada Senin (2/11/2020) malam, ada beberapa pasal dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 yang dihilangkan dan berakibat merugikan kaum buruh.
Salah satu yang ia soroti adalah dihapusnya batasan lima jenis pekerjaan yang terdapat di dalam Pasal 66 yang memperbolehkan penggunaan tenaga kerja outsourcing.
Pada pasal tersebut, sebelumnya tertuang tenaga kerja outsourcing hanya untuk cleaning service, cattering, security, driver, dan jasa penunjang perminyakan.
"Dengan tidak adanya batasan terhadap jenis pekerjaan yang boleh menggunakan tenaga outsourcing, maka semua jenis pekerjaan di dalam pekerjaan utama atau pekerjaan pokok dalam sebuah perusahaan bisa menggunakan karyawan outsourcing," jelas Said.
Menurut dia, hal ini mengesankan negara melegalkan tenaga kerja diperjualbelikan oleh agen penyalur.
Padahal, lanjutnya, di dunia internasional soal outsourcing disebut dengan istilah modern slavery atau perbudakan modern.
"Dengan sistem kerja outsourcing, seorang buruh tidak lagi memiliki kejelasan terhadap upah, jaminan kesehatan, jaminan pensiun, dan kepastian pekerjaannya," ujarnya.
Alasannya, kata Said, karena dalam praktiknya, agen outsourcing sering lepas tangan untuk bertanggung jawab terhadap masa depan pekerjanya.
Menurutnya, agen outsourcing hanya menerima success fee per kepala dari tenaga kerja outsourcing yang digunakan oleh perusahaan pengguna atau user.
Selain itu, sebut dia, UU Cipta Kerja juga menghapus Pasal 64 dan 65 UU Nomor 13 Tahun 2003
https://nasional.kompas.com/read/2020/11/03/10481481/kspi-minta-penggunaan-outsourcing-terbatas-pada-5-jenis-pekerjaan