JAKARTA, KOMPAS.com – Rencana pemindahan ibu kota negara menjadi salah satu megaproyek yang ingin direalisasikan di era pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
Pada tahun pertama pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, rencana ini bahkan sempat digodok cukup intensif sebelum akhirnya ditunda akibat pandemi Covid-19.
Keputusan Kepala Negara memindahkan ibu kota awalnya diambil di penghujung masa kepemimpinan periode pertama Jokowi.
Saat itu, Presiden menggelar rapat terbatas terkait rencana pemindahan ibu kota di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta pada 29 April 2019.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang saat itu masih dijabat oleh Bambang Brodjonegoro, menyatakan, Presiden memilih opsi ketiga yang ditawarkan terkait rencana pemindahan ibu kota, yaitu memindahkannya ke luar Pulau Jawa.
Dua opsi lannya yaitu ibu kota tetap di Jakarta, tetapi daerah seputaran Istana dan Monumen Nasional dibuat khusus sebagai kantor-kantor pemerintahan, kementerian dan lembaga.
Selanjutnya, pusat pemerintahan dipindahkan ke luar Jakarta dalam radius 50-70 kilometer dari Jakarta.
“Ini barangkali salah satu putusan penting yang dilahirkan hari ini,” kata Bambang.
Minta izin parlemen
Presiden kemudian menyampaikan secara resmi rencana pemindahan ibu kota pada saat Sidang Bersama DPD-DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada 16 Agusut 2019.
“Pada kesempatan yang bersejarah ini, dengan memohon ridha Allah SWT, dengan meminta izin dan dukungan dari bapak ibu anggota Dewan yang terhormat, para sesepuh dan tokoh bangsa, terutama dari seluruh rakyat Indonesia, dengan ini saya mohon izin untuk memindahkan ibu kota negara kita ke Pulau Kalimantan," kata Jokowi.
Wilayah Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara sengaja dipilih karena lokasinya yang dinilai relatif aman dari risiko bencana alam. Di samping itu, lokasi itu juga berada di tengah-tengah Indonesia secara geografis.
Sepuluh hari kemudian, Presiden melayangkan surat kepada Ketua DPR saat itu, Bambang Soesatyo.
Pemerintah pun berencana merancang undang-undang agar rencana pemindahan tersebut memiliki payung hukum yang legal.
Skema payung hukum
Setelah Jokowi dilantik untuk periode kedua pada 20 Oktober 2019, upaya untuk merealisasikan pemindahan ibu kota terus dikebut pemerintah.
Dimulai dari menugaskan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk menggelar sayembara gagasan kawasan ibu kota negara hingga menyusun payung hukum dalam bentuk omnibus law.
Kepala Bappenas Suharso Monoarfa menyebut, setidaknya ada enam undang-undang yang akan disinkronisasi melalui skema itu, di antaranya UU Ibu Kota, UU Perkotaan, UU Kawasan, dan UU Pemerintah Daerah.
Untuk mendukungnya, naskah akademik juga turut disiapkan pemerintah.
Dari Ahok hingga Tonny Blair
Pemerintah menargetkan pembangunan ibu kota baru dapat dimulai pada 2020 dan secara bertahap aparatur sipil negara (ASN) yang bekerja di pemerintah pusat akan dipindahkan hingga tahun 2024. Rencananya, ibukota baru akan dipimpin oleh seorang kepala badan otorita yang jabatannya setingkat menteri.
Nama mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, rekan Jokowi saat masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta yang kini menjabat sebagai Komisaris Utama PT Pertamina, sempat digadang-gadang sebagai nama yang akan menduduki jabatan itu.
Selain Ahok, ada pula nama Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, dan Direktur Utama PT Wijaya Karya (Persero) Tumiyana turut masuk radar yang dibidik Jokowi. Namun, hingga kini belum ada satu pun nama yang mengerucut untuk memimpin badan tersebut.
Di samping itu, Presiden juga menunjuk Putra Mahkota Abu Dhabi Mohamed Bin Zayed, mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair dan CEO Softbank Masayoshi Son sebagai Dewan Pengarah Ibu Kota.
Ditunda akibat pandemi
Namun dalam perkembangannya, pandemi Covid-19 yang disebabkan virus corona melanda hampir seluruh negara di dunia. Tak terkecuali Indonesia.
Di Indonesia, kasus Covid-19 pertama kali diumumkan Presiden Joko Widodo pada 2 Maret lalu. Seiring waktu berjalan penambahan kasus positif Covid-19 kian masif. Bahkan, tujuh bulan sejak kasus pertama diumumkan, belum ada tanda-tanda penurunan penyebaran virus corona di masyarakat.
Awalnya, Sekretari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Sekretaris Utama Bappenas Himawan Hariyoga Djojokusumo dan Deputi bidang Pengembangan Regional Kementerian PPN/Bappenas Rudy Soeprihadi Prawiradina optimistis, pemindahan ibu kota akan berjalan sesuai rencana.
“Terus berjalan, tetap sesuai jadwal,” kata Himawan di Jakarta, pada 4 Maret 2020, seperti dilansir dari Antara.
Namun, di tengah optimisme tersebut, pemerintah justru diminta merealokasi anggaran pemindahan ibu kota untuk penanganan Covid-19 oleh sejumlah pihak. Suharso pun akhirnya mengumumkan bahwa rencana pemindahan ibu kota negara ditunda sementara saat rapat kerja bersama Komisi XI DPR.
“Mengenai ibu kota negara, terutama untuk komunikasi rumusan pada tim koordinasi persiapan rencana pemindahan ibu kota negara, meskipun sampai hari ini ibu kota negara itu programnya masih di-hold,” kata Suharso di Jakarta, pada 8 September lalu.
Meski demikian, tim komunikasi dan koordinasi strategis pemindahan ibu kota tetap mendapatkan alokasi anggaran pada 2021.Hal tersebut karena pemerintah tetap melanjutkan rencana yang telah disiapkan sebelumnya.
Selain itu, pembangunan infrastruktur dasar di kota penyangga, seperti Samarinda dan Balikpapan bakal dilakukan.
"Kita tetap dalam rangka persiapan dan kita melanjutkan masterplan, detailed-plan, dan juga pembangunan infrastruktur dasar di kota-kota penyangga seperti Samarinda dan Balikpapan," tuturnya.
Untuk tahun anggaran 2021, Bappenas mengusulkan pagu anggaran sebesar Rp 1,7 triliun. Dari total tersebut, sebanyak 55,4 persen atau sekitar Rp 850 miliar diperuntukkan program perencanaan pembangunan nasional.
https://nasional.kompas.com/read/2020/10/20/15222631/setahun-jokowi-maruf-rencana-pemindahan-ibu-kota-negara-nasibmu-kini