Salin Artikel

Ramai-ramai Menolak UU Cipta Kerja dan Ancaman Mogok Kerja Nasional

Mereka kecewa lantaran proses pembahasan hingga pengesahan yang dimotori DPR dan pemerintah menutup ruang partisipasi publik.

Terlebih lagi, pengesahan ini dilakukan di tengah gencarnya elemen buruh dan masyarakat menolak aturan sapu jagat tersebut.

"Kami sangat kecewa sekali, kita marah, ingin menangis, ingin menunjukkan ekspresi kita kepada DPR dan pemerintah," ujar Wakil Ketua Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Jumisih saat dihubungi Kompas.com, Senin (5/10/2020).

Jumisih menuturkan, pengesahan UU Cipta Kerja semakin meneguhkan keyakinan elemen buruh bahwa pemerintah dan DPR tidak berpihak kepada masyarakat, khususnya buruh.

Sebaliknya, lahirnya undang-undang sapu jagat tersebut juga menggambarkan sikap pemerintah yang lebih pro terhadap kaum korporasi dan pemodal.

Dengan sikap tersebut, kata Jumisih, pemerintah dan DPR justru menjadi penyebab semakin menjauhnya cita-cita bangsa untuk menyejahterakan masyarakat.

Bukan jaminan kesejahteraan yang diterima, masyarakat justru ditimpa beban atas pengesahan UU Cipta Kerja.

"Pemerintah sedang mewariskan kehancuran untuk generasi kita dan generasi akan datang. Jadi pemerintah mewariskan bukan kebaikan, tapi kehancuran untuk rakyatnya sendiri, per hari ini," ucap Jumisih.

Mogok kerja

Buntutnya, sebanyak 2 juta buruh akan mogok kerja nasional yang dimulai hari ini, Selasa (6/10/2020) hingga Kamis (8/10/2020).

Aksi mogok kerja tersebut akan diikuti buruh yang bekerja di sektor kimia, energi, pertambangan, tekstil, garmen, sepatu, otomotif, komponen elektronik, serta industri besi dan baja.

Kemudian, diikuti buruh di sektor farmasi dan kesehatan, percetakan dan penerbitan, industri pariwisata, industri semen, telekomunikasi, pekerja transportasi, pekerja pelabuhan, logistik, hingga perbankan.

Adapun sebaran wilayah 2 juta buruh yang akan menggelar mogok kerja meliputi Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang Raya, Serang, Cilegon, Bekasi, Karawang, Purwakarta, Subang, Cirebon, Bandung Raya, Semarang, Kendal, Jepara, Yogyakarta, Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Mojokerto, dan Pasuruan.

Kemudian disusul Aceh, Padang, Solok, Medan, Deli Serdang, Sedang Bedagai, Batam, Bintan, Karimun, Muko-Muko, Bengkulu, Pekanbaru, Palembang, Bandar Lampung, dan Lampung Selatan.

Selain itu, mogok nasional juga akan dilakukan di Banjarmasin, Palangkaraya, Samarinda, Mataram, Lombok, Ambon, Makasar, Gorontalo, Manadao, Bitung, Kendari, Morowali, Papua, dan Papua Barat.

Said menyatakan, aksi mogok nasional ini didasarkan pada UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan UU Nomor 21 Tahun 2000, khususnya Pasal 4 yang menyebutkan, fungsi serikat pekerja salah satunya adalah merencanakan dan melaksanakan pemogokan.

"Selain itu, dasar hukum mogok nasional yang akan kami lakukan adalah UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik," tegas Said.

Said menuturkan, dalam mogok kerja tersebut, buruh juga akan menyuarakan berbagai tuntutan menyusul lahirnya UU Cipta Kerja.

Antara lain, buruh menuntut upah minimum kota (UMK) tanpa syarat dan upah minimum sektoral kota (UMSK) tidak dihilangkan. Selain itu, buruh meminta nilai pesangon tidak berkurang.

Buruh juga menolak adanya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau karyawan kontrak seumur hidup.

Kemudian, buruh juga menolak adanya outsourcing seumur hidup, waktu kerja yang eksploitatif, serta hilangnya cuti dan hak upah atas cuti.

Buruh juga menuntut karyawan kontrak dan outsourcing harus mendapatkan jaminan kesehatan dan pensiun.

"Sementara itu, terkait dengan PHK, sanksi pidana kepada pengusaha dan TKA harus tetap sesuai dengan isi UU No 13 Tahun 2003," terang Said.

Puluhan akademisi menolak

Sikap penolakan juga ditunjukkan kalangan akademisi yang berasal dari 30 perguruan tinggi.

Para akademisi ini menolak UU Cipta Kerja karena menabrak banyak aturan, bahkan nilai-nilai Pancasila.

"Aturan itu tidak hanya berisikan pasal-pasal bermasalah di mana nilai-nilai konstitusi (UUD 1945) dan Pancasila dilanggar bersamaan, tetapi juga cacat dalam prosedur pembentukannya," demikian petikan pernyataan para akademisi.

Dalam pandangan para akademisi ini, setidaknya ada lima permasalahan mendasar dalam UU Cipta Kerja.

Pertama, masalah sentralisasi yang dianggap menyerupai kondisi Orde Baru.

Sebab, terdapat hampir 400-an pasal yang menarik kewenangan kepada Presiden melalui pembentukan peraturan Presiden.

Kedua, UU Cipta Kerja anti-lingkungan hidup di mana terdapat pasal-pasal yang mengabaikan semangat perlindungan lingkungan hidup, terutama terhadap pelaksanaan pendekatan berbasis risiko serta semakin terbatasnya partisipasi masyarakat.

Ketiga, persoalan liberalisasi pertanian. Dalam aturan tersebut, tidak ada lagi perlindungan petani ataupun sumber daya domestik.

Keempat, persoalan pengabaian hak asasi manusia (HAM). Pada pasal-pasal tertentu hanya mengedepankan prinsip semata-mata keuntungan bagi pebisnis, sehingga abai terhadap nilai-nilai hak asasi manusia, terutama perlindungan dan pemenuhan hak pekerja, hak pekerja perempuan, hingga hak warga.

Kelima, mengabaikan prosedur pembentukan UU. Sebab, konsep omnibus law tidak diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 jo UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Akademisi pun mempertanyakan pengesahan UU Cipta Kerja yang dibentuk tidak sesuai prosedur.

Terlebih lagi, seluruh proses pembentukan hukum ini dilakukan di masa pandemi, sehingga sangat membatasi upaya memberi aspirasi untuk mencegah pelanggaran hak-hak asasi manusia.

Hingga Senin (5/10/2020) pukul 17.30 WIB, sebanyak 67 akademisi membubuhkan tanda tangan penolakan.

Akademisi terebut antara lain Hariadi Kartodihardjo dari Institut Pertanian Bogor, Muhammad Fauzan dari Fakultas Hukum Universitas Soedirman, Susi Dwi Harijanti dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Abdil Mughis Mudhoffir, sosiolog Universitas Negeri Jakarta, hingga Feri Amsari dari Fakultas Hukum Universitas Andalas.

Cacat prosedur

Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf menilai, UU Cipta Kerja mengandung banyak permasalahan, mulai dari proses penyusunan hingga pasal-pasal yang menghilangkan hak-hak pekerja.

Permasalahan itu misalnya, cacatnya prosedur dalam proses penyusunan UU Cipta Kerja.

Kesalahan prosedur itu karena penyusunan dilakukan secara tertutup, tidak transparan, serta tidak memberikan ruang bagi partisipasi masyarakat sipil.

Terlebih lagi, pembahasan tersebut dilakukan saat konsentrasi semua elemen bangsa tengah berfokus menangani pandemi Covid-19.

Selain itu, draf UU Cipta Kerja juga tidak disosialisasikan secara baik kepada publik.

Bahkan, kata dia, draf UU Cipta Kerja tidak dapat diakses oleh masyarakat sehingga masukan dari publik menjadi terbatas.

Menurut dia, hal itu melanggar Pasal 89 jo 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mewajibkan pemerintah membuka akses terhadap RUU kepada masyarakat.

Permasalahan tak hanya dari segi teknis. Dalam pasal-pasal UU Cipta Kerja juga terindikasi adanya berbagai permasalahan, mulai dari ketenagakerjaan hingga lingkungan hidup.

"Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa UU Cipta Kerja berpotensi melanggar hak-hak konstitusional warga negara, merugikan para pekerja/buruh, merugikan petani, merugikan hak-hak masyarakat adat, serta berdampak buruk bagi kelestarian lingkungan," kata Araf.

"Atas dasar tersebut, Imparsial menolak dan menyayangkan pengesahan UU Cipta Kerja di DPR, apalagi pembahasan tersebut dilakukan secara tidak lazim, yakni dilakukan secara tertutup dan di tengah konsentrasi mengatasi pandemi Covid-19," lanjut dia.

https://nasional.kompas.com/read/2020/10/06/05545351/ramai-ramai-menolak-uu-cipta-kerja-dan-ancaman-mogok-kerja-nasional

Terkini Lainnya

Tanggal 22 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 22 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
TNI Tembak 2 Anggota OPM yang Serang Pos Prajurit di Paro Nduga, tapi Berhasil Melarikan Diri

TNI Tembak 2 Anggota OPM yang Serang Pos Prajurit di Paro Nduga, tapi Berhasil Melarikan Diri

Nasional
Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

Nasional
Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

Nasional
Prabowo Minta Pendukung Tak Gelar Aksi saat MK Bacakan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Prabowo Minta Pendukung Tak Gelar Aksi saat MK Bacakan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Demokrat Sampaikan Kriteria Kadernya yang Bakal Masuk Kabinet Mendatang

Demokrat Sampaikan Kriteria Kadernya yang Bakal Masuk Kabinet Mendatang

Nasional
Antam Fokus Eksplorasi 3 Komoditas, Pengeluaran Preliminary Unaudited  Capai Rp 17,43 Miliar

Antam Fokus Eksplorasi 3 Komoditas, Pengeluaran Preliminary Unaudited Capai Rp 17,43 Miliar

Nasional
KPK Akan Panggil Kembali Gus Muhdlor sebagai Tersangka Pekan Depan

KPK Akan Panggil Kembali Gus Muhdlor sebagai Tersangka Pekan Depan

Nasional
Gibran Dikabarkan Ada di Jakarta Hari Ini, TKN: Agenda Pribadi

Gibran Dikabarkan Ada di Jakarta Hari Ini, TKN: Agenda Pribadi

Nasional
Unjuk Rasa di Patung Kuda Diwarnai Lempar Batu, TKN Minta Pendukung Patuhi Imbauan Prabowo

Unjuk Rasa di Patung Kuda Diwarnai Lempar Batu, TKN Minta Pendukung Patuhi Imbauan Prabowo

Nasional
Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

Nasional
Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

Nasional
KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

Nasional
Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Nasional
Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke