Hingga Selasa (8/9/2020), jumlah kepala daerah yang ditegur Mendagri tercatat sebanyak 69 orang.
Menurut Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik, kepala daerah yang mendapat teguran karena melanggar protokol kesehatan pada saat tahapan Pilkada terdiri dari seorang gubernur, 35 bupati dan empat wali kota. Kemudian 25 wakil bupati dan empat wakil wali kota.
Akmal mengatakan, teguran ini sejalan dengan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin Dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan Dalam Pencegahan Dan Pengendalian Corona Virus Disease (Covid-19).
Ia menuturkan, tidak menutup kemungkinan, teguran seperti ini akan terus bertambah berdasarkan data dan laporan yang masuk ke Kemendagri.
"Sehingga pada tahapan selanjutnya, kepala daerah harus benar-benar memperhatikan protokol kesehatan dan tidak melakukan aktifitas yang memungkinan timbul kerumunan massa," tutur dia.
Pelanggar Protokol
Sebelumnya, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), mencatat ada 243 dugaan pelanggaran protokl Covid-19 yang dilakukan bakal calon kepala daerah selama dua hari pendaftaran Pilkada.
Data itu dihimpun Bawaslu hingga Sabtu (5/9/2020).
Umumnya, para bakal calon itu diduga melanggar aturan karena membawa massa saat mendaftar ke KPU.
Staf Khusus Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Bidang Politik dan Media Kastorius Sinaga mengatakan, ada 260 bakal paslon yang melanggar protokol kesehatan saat mendaftarkan diri sebagai peserta Pilkada 2020.
"Dari data kejadian pendaftaran kemarin, dari sekitar 650 bakal paslon yang mendaftarkan diri, kami monitor ada sekitar 260 bakal paslon yang melanggar (protokol kesehatan)," ujar Kastorius dalam keterangan tertulisnya, Selasa (8/9/2020).
Namun, Kasto tidak merinci bakal paslon kepala daerah mana saja yang terbukti melanggar protokol kesehatan.
Opsi
Sebelumnya, ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia Tri Yunis Miko Wahyono meminta pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu mempertimbangkan sanksi yang lebih tegas kepada bapaslon yang kedapatan melanggar protokol kesehatan.
Misalnya, dengan mencoret status kepesertaan mereka di dalam perhelatan kontestasi daerah itu.
"Jadi sanksi itu harus tegas. Kalau dua tiga kali menyalahi aturan (protokol kesehatan) harusnya gugur pencalonan itu," ujar dia.
"Kalau enggak gugur, ya sudah akan diulang-ulang oleh calonnya (kepala daerah)," lanjut Miko.
Sementara Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi mengatakan, KPU tidak bisa mendiskualifikasi bakal paslon yang menyebabkan kerumunan massa dalam tahapan pilkada.
Penyebabnya, kata dia, KPU harus bertindak sesuai dengan undang-undang (UU).
"Memang kalau untuk memberikan sanksi, KPU tidak bisa mendiskualifikasi (bakal paslon) akibat ada kerumunan massa," ujar Raka Sandi kepada wartawan, Selasa (8/9/2020).
"Karena UU yang dipakai untuk penyelenggara pilkada ini adalah UU Nomor 10 Tahun 2016, yang dibuat sebelum pandemi," lanjutnya.
Namun, kata dia, jika UU Pilkada belum mengatur soal itu, ada dasar hukum lain yang bisa digunakan.
Misalnya saja, dalam UU tertib lalu lintas mengatur adanya larangan konvoi yang bisa digunakan di setiap pemilu dan pilkada.
Selain itu, ada aturan UU yang mengatur soal ketertiban pada masa bencana.
"Jadi ada atau tidak pilkadanya, UU itu tetap berlaku. Sehingga, kami mengimbau bakal paslon, pendukung, dan parpol bisa menjadi contoh bagi masyarakat luas dengan patuh protokol kesehatan," katanya.
Sementara itu, Kastorius mengatakan, Kemendagri sedang mengkaji sanksi menunda pelantikan mereka yang melanggar protokol kesehatan.
Ini adalah sanksi yang tengah digodok Kemendagri bersama lembaga penyelenggara pemilu, yakni KPU dan Bawaslu.
Menurut Kasto, pemerintah mengangkat opsi ini untuk memastikan keseriusan paslon, termasuk stakeholder lainnya, dalam komitmen mencegah dan membantu penyelesaian penanganan wabah Covid-19 di Tanah Air.
Opsi menunda pelantikan ini mengemuka serta diklaim mendapatkan sambutan positif dalam rapat koordinasi antara Kemendagri dengan KPU dan Bawaslu.
Kastorius melanjutkan, selain opsi menunda pelantikan, ada opsi lain, yakni menunjuk pejabat pusat sebagai pejabat sementara (Pjs) Kepala daerah.
"Ini dilakukan jika kepala daerah tersebut terbukti melanggar protokol kesehatan secara signifikan di masa pilkada atau kurang optimal dalam mendukung pelaksanaan Pilkada serta penegakan protokol kesehatan dan penanganan Covid-19," tambah Kasto.
Menurut Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik, ada dasar hukum soal penundaan pelantikan bakal calon kepala daerah yang terpilih dalam Pilkada.
"Sudah ada diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah," ujar Akmal, di Jakarta, Selasa (8/9/2020).
Selain itu, penundaan pelantikan pun bisa berdasarkan PP Nomor 12 Tahun 2017 tentang pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintah daerah.
Namun, menurutnya saat ini cara-cara persuasif masih tetap dikedepankan oleh pemerintah.
"Kita tetap mengedepankan pendekatan persuasif," tambahnya.
Satgas minta KPU tegas
Juru Bicara Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito memberikan tanggapan atas potensi terjadinya klaster penularan Covid-19 dalam tahapan Pilkada 2020.
Menurut Wiku, dibutuhkan ketegasan dari penyelenggara pilkada untuk mencegah potensi terjadinya klaster.
"KPU dan KPUD harus menegakkan aturan yang dibuatnya terkait dengan protokol kesehatan dalam penyelenggaraan pilkada," ujar Wiku ketika dikonfirmasi Kompas.com, Selasa (8/9/2020).
Presiden Joko Widodo sebelumnya menyoroti munculnya klaster pilkada, yakni klaster penularan Covid-19 yang disebabkan oleh aktivitas Pilkada serentak 2020. Ia meminta munculnya klaster ini menjadi perhatian semua pihak.
"Hati-hati klaster pilkada ini. Agar ini selalu diingatkan," kata Jokowi saat memimpin sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, Senin (7/9/2020).
"Saya minta ini Pak Mendagri urusan yang berkaitan dengan klaster Pilkada ini betul-betul ditegasi betul. Diberikan ketegasan betul," sambungnya.
Jokowi pun meminta Polri untuk turut mengawasi penerapan protokol kesehatan selama pelaksanaan pilkada serentak 2020.
https://nasional.kompas.com/read/2020/09/09/07040181/opsi-sanksi-untuk-calon-kepala-daerah-pelanggar-protokol-kesehatan
Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & Ketentuan