Syaiful diketahui dinyatakan bersalah melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena mengkritisi hasil tes calon pegawai negeri sipil (CPNS) untuk dosen Fakultas Teknik pada akhir 2018 di Unsyiah.
"Bagi saya, itu semua harus kita apresiasi dan siapapun yang punya perhatian terhadap kepentingan kebebasan berpikir, terutama di lingkungan kampus ya, untuk kebebasan berpikir di negara demokrasi, saya pikir kita semua harus mendukung langkah-langkah Pak Saiful," kata Era dalam sebuah diskusi, Selasa (25/8/2020).
Menurut Era, banyak kasus kriminalisasi dalam konteks kebebasan berpendapat yang tidak berani menempuh upaya hukum banding.
"Dalam banyak kasus kriminalisasi terhadap kebebasan berpikir, kebebasan berpendapat, banyak yang tidak menempuh upaya hukum oleh karena hukumannya rendah sehingga khawatir kalau melakukan upaya hukum, hukumannya menjadi lebih tinggi," ungkap Era.
"Apalagi tersangka atau terdakwanya dalam proses hukumnya itu ditahan baik oleh polisi, oleh jaksa, maupun oleh hakim," lanjut dia.
Selain itu, Era menyoroti pasal yang dikenakan pada kasus Saiful.
Menurut dia, pasal-pasal dalam UU ITE berbahaya bagi demokrasi.
"Pertama kami mau melihat bahwa kasus Pak Saiful ini sebetulnya bukti bahwa keberadaan pasal-pasal pencemaran nama baik didalam KUHP maupun diperluas dalam UU ITE memang pasal-pasal yang berbahaya bagi demokrasi, bagi kebebasan berpendapat, kebebasan berpikir, kebebasan berekspresi," kata Era.
"Meskipun Mahkamah Konstitusi sudah mengatakan pasal ini harus dipertahankan, tapi kita perlu berpikir ke depan dan kita harus sama-sama mendorong bahwa pasal ini memang tidak layak berada dalam negara demokrasi," lanjut dia.
Menurut Era, keberadaan pasal ini sangat memprihatinkan, sebab dapat menyasar berbagai kalangan, tak terkecuali insan akademik.
Era menyebut, ada kencenderungan fenomena insan kampus membawa-bawa aparat kepolisian dalam menyelesaikan persoalan di dalamnya.
"Ini tidak hanya terjadi dikasusnya Pak Saiful ya, tapi kita melihat ada fakta-fakta seperti itu yang terjadi di beberapa kampus. Misalnya Universitas di Ternate mahasiswa di-drop out (DO) pertimbangannya adalah surat kepolisian,” ucap Era.
"Ini belum pernah saya temukan dalam sejarah kasus-kasus yang saya tangani dan kemudian saya melacak ada enggak sih kasus-kasus yang orang di-DO karena surat polisi, selama ini itu enggak terjadi," lanjut dia.
Contoh lain, mahasiswa di Universitas Nasional yang karena melakukan demonstrasi, mereka kemudian di-DO.
"Kita perlu bertanya, ada apa? Kenapa alam kampus yang seharusnya menjadi alam yang paling demokratis justru menjadi alam yang paling represif hari ini?" ujar Era.
Untuk diketahui, kasus Saiful Mahdi bermula ketika ia dilaporkan ke polisi oleh teman sejawatnya, yakni Dekan Fakultas Teknik Taufiq Mahdi.
Taufiq merasa malu dan merasa nama baiknya selaku pimpinan Fakultas Teknik dicemarkan oleh Saiful di dalam sebuah grup WhatsApp.
Berikut kata-kata di grup WhatsApp Unsyiah Kita pada 25 Februari 2019:
"Innalillahiwainnailaihirajiun. Dapat kabar duka matinya akal sehat dalam jajaran pimpinan FT Unsyiah saat tes PNS kemarin. Bukti determinisme teknik itu sangat mudah dikorup? Gong Xi Fat Cai!!! Kenapa ada fakultas yang pernah berjaya kemudian memble? Kenapa ada fakultas baru begitu membanggakan? Karena meritokrasi berlaku sejak rekrutmen hanya pada medioker atau yang terjerat 'hutang' yang takut meritokrasi".
Dalam pertimbangan yang meringankan, hakim menilai terdakwa bersikap kooperatif dalam persidangan dan belum pernah dihukum.
Sedangkan hal yang memberatkan, terdakwa dinilai telah mencemarkan nama baik Fakultas Teknik Unsyiah.
Setelah vonis dibacakan, terdakwa Saiful Mahdi dan kuasa hukumnya dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh langsung menyatakan banding.
https://nasional.kompas.com/read/2020/08/25/23261611/ylbhi-apresiasi-dosen-unsyiah-yang-ajukan-banding