“Terhadap enam pejabat tadi dijatuhi hukuman disiplin tingkat berat, berupa pembebasan dari jabatan struktural,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Hari Setiyono di Kompleks Kejagung, Jakarta Selatan, Selasa (18/8/2020).
Keenamnya yakni Kepala Kejari Inhu Hayin Suhikto, Kasi Pidsus Kejari Inhu Ostar Al Pansri, Kasi Intelijen Kejari Inhu Bambang Dwi Saputra, Kasi Datun Kejari Inhu Berman Brananta.
Kemudian, Kasi Pengelolaan Barang Bukti dan Barang Rampasan Kejari Inhu Andy Sunartejo serta Kasubsi Barang Rampasan pada Seksi Pengelolaan Barang Bukti dan Barang Rampasan Kejari Inhu Rionald Feebri Rinando.
Menurut Hari, penanganan kasus ini bermula dari pemberitaan di media massa mengenai mundurnya 63 kepala sekolah di Inhu karena diduga diperas oknum jaksa.
Dari pemberitaan tersebut, Bidang Pengawasan Kejaksaan Tinggi Riau melakukan klarifikasi.
Hasil klarifikasi menunjukkan adanya dugaan perbuatan tercela dan dugaan tindak pidana. Statusnya kemudian ditingkatkan menjadi inspeksi kasus.
Kemudian, keenamnya dinyatakan terbukti melakukan perbuatan tercela atau melanggar Pasal 4 angka 1 dan angka 8 jo Pasal 13 angka 1 dan angka 8 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS).
“Yang menyebutkan bahwa setiap PNS dilarang menyalahgunakan wewenang dan menerima hadiah atau sesuatu pemberian apa saja dari siapapun juga yang berhubungan dengan jabatan atau pekerjaannya,” ucap dia.
Sementara itu, terkait dugaan tindak pidana korupsi dalam kasus ini dilimpahkan kepada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejagung.
Penyidik Jampidsus Kejagung menemukan dugaan tindak pidana korupsi dalam kasus ini setelah menelaah hasil pemeriksaan Bidang Pengawasan Kejati Riau.
Penyidik kemudian berkoodinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mengingat kasus tersebut dilaporkan Inspektorat Kabupaten Inhu ke KPK.
Setelah penyidik mengantongi minimal dua alat bukti, tiga dari enam pejabat Kejari Inhu sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka.
Mereka yaitu Hayin Suhikto, Ostar Al Pansri, dan Rionald Feebri Rinando.
Para tersangka diduga menerima uang sebesar Rp 650 juta dari kepala sekolah terkait pengelolaan dana bantuan operasional sekolah (BOS) tahun 2019.
Ketiganya langsung ditahan di Rutan Salemba cabang Kejagung untuk 20 hari selama 15 Agustus-3 September 2020.
Meski berstatus tersangka, mereka masih berstatus sebagai jaksa. Maka dari itu, ketiganya akan mendapat pengacara yang ditunjuk oleh Persatuan Jaksa Indonesia (PJI).
“Nanti Ketua PJI akan menunjuk penasihat hukum, artinya penasihat hukum ini bukan jaksa tetapi adalah penasihat hukum dari organisasi profesi penasihat hukum atau memang penasihat hukum yang berkantor sendiri,” ujar Hari.
Dalam kasus ini, ketiga tersangka dijerat Pasal 12 huruf e atau Pasal 11 atau Pasal 5 Ayat 2 jo ayat 1 huruf b UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
Sebagaimana diberitakan, 63 (sebelumnya ditulis 64) kepala sekolah SMP negeri se-Kabupaten Inhu, Riau, mengundurkan diri pada Selasa (14/7/2020).
Mereka mengundurkan diri karena tidak tahan akibat mendapat tekanan dalam mengelola dana BOS.
Bahkan, para kepala sekolah mengaku diperas oknum dari Kejari Inhu yang bekerja sama dengan LSM.
Oknum tersebut diduga meminta sejumlah uang, jika kepala sekolah tidak mau diganggu dalam penggunaan dana BOS itu.
Karena sudah tidak nyaman, seluruh kepala SMP tersebut kompak dan sepakat mengundurkan diri.
Surat pengunduran diri diberikan kepada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Inhu.
https://nasional.kompas.com/read/2020/08/18/22275821/kasus-pemerasan-63-kepsek-di-riau-6-pejabat-kejari-inhu-dijatuhi-hukuman