JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) mengapresiasi langkah Polri yang pada akhirnya menaikkan status penyidikan untuk perkara tindak pidana korupsi dalam kasus pelarian Djoko Tjandra.
Namun ICW menilai masih ada sejumlah hal yang belum tuntas yang harus diusut oleh kepolisian maupun kejaksaan. Dalam hal ini, ICW setidaknya membaginya ke dalam tiga klaster waktu.
"Jika mengikuti alur penyampaian Kabareskrim, berikut hal yang penting diusut tuntas oleh Kepolisian dan Kejaksaan," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana, Sabtu (15/8/2020).
Klaster pertama terjadi pada rentang waktu 2008-2009.
Menurut Kurnia, penegak hukum perlu mendalami adanya dugaan oknum yang membocorkan putusan Peninjauan Kembali atas nama Djoko Tjandra pada 2009 lalu.
Sebab, diduga Djoko Tjandra melarikan diri ke luar negeri setelah putusan tersebut bocor sebelum dibacakan.
"Jika ditemukan, maka penegak hukum dapat mengenakan pelaku dengan sangkaan Pasal 21 UU Tipikor terkait obstruction of justice atau menghalang-halangi proses hukum," kata Kurnia.
Klaster kedua yaitu pada akhir 2019, yang berkaitan dengan dugaan suap untuk oknum jaksa Pinangki Sirna Malasari
Meski jaksa Pinangki sudah ditetapkan sebagai tersangka dugaan penerima suap, namun Kurnia menilai masih ada empat hal lagi yang harus segera dilakukan oleh Kejaksaan.
"Pertama, siapa pemberi suapnya? Sebab tidak mungkin dalam sebuah perbuatan koruptif hanya dilakukan oleh satu orang. Apakah dana yang diterima oleh Pinangki dinikmati secara pribadi atau ada oknum petinggi Kejaksaan yang juga turut menerima bagian?" terang dia.
Selanjutnya, ia juga mempertanyakan apakah jaksa Pinangki memiliki relasi dengan oknum di Mahkamah Agung. Sehingga bisa menjanjikan memberikan bantuan berupa fatwa kepada Djoko Tjandra.
Jika iya, menurut Kurnia, Kejaksaan juga harus mengusut hal tersebut.
"Kejaksaan juga harus mengusut apakah ada oknum petinggi Kejaksaan yang selama ini bekerjasama dengan Pinangki dan sebenarnya mengetahui sepak terjang dari yang bersangkutan namun tidak melakukan tindakan apapun," sambungnya.
Klaster ketiga adalah terkait penghapusan red notice dan terbitnya surat jalan palsu.
Kurnia menilai, kepolisian harus mengembangkan perkara ini, khususnya pada kemungkinan masih adanya oknum perwira tinggi Polri lain yang turut memuluskan pelarian Djoko Tjandra.
Kemudian, kepolisian juga perlu memeriksa apakah ada oknum atau petinggi Imigrasi yang terlibat dalam pelarian Djoko Tjandra.
"Sebab, data red notice Djoko Tjandra di Imigrasi diketahui sempat dihapus. Dalam konteks ini, penting untuk dicatat bahwa Dirjen Imigrasi, Jhony Ginting, sebelumnya adalah seorang Jaksa, tentu yang bersangkutan mestinya mengetahui bahwa Djoko Tjandra merupakan buronan Kejaksaan yang belum tertangkap," kata Kurnia.
Selain itu, Kurnia juga meminta KPK aktif melakukan fungsi koordinasi dan supervisi atas penyidikan perkara korupsi, baik yang dilakukan oleh oknum Kepolisian maupun Kejaksaan.
Jika memang ada indikasi untuk memperlambat proses pengusutan atau melindungi oknum tertentu, maka berdasarkan UU KPK, lembaga anti rasuah itu berhak untuk mengambil alih penanganan perkara tersebut.
Diberitakan, Bareskrim Polri telah menetapkan Joko Soegiarto Tjandra sebagai tersangka dalam dua kasus.
Pertama, polisi menetapkan Djoko sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi terkait penghapusan red notice atas namanya.
Dalam kasus ini, Djoko Tjandra terancam dijerat dengan Pasal 5 ayat 1, Pasal 13 UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 KUHP.
Selain itu, polisi juga menetapkan seseorang berinisial TS selaku tersangka yang diduga memberi suap.
Kemudian, dua tersangka lainnya adalah Brigjen (Pol) Prasetijo Utomo dan seseorang berinisial NB yang diduga selaku penerima.
Kasus kedua, Djoko ditetapkan sebagai tersangka terkait surat surat jalan palsu yang digunakan dalam pelariannya.
Djoko disangkakan dengan Pasal 263 ayat 1 dan 2 KUHP, Pasal 426 KUHP, dan Pasal 221 KUHP dengan ancaman 5 tahun penjara.
Dalam kasus pelarian Djoko Tjandra yang ditangani Dittipidum Bareskrim Polri, penyidik telah menetapkan dua orang tersangka.
Pertama, Brigjen (Pol) Prasetijo Utomo yang telah menerbitkan surat jalan dan diduga terlibat dalam penerbitan surat kesehatan untuk Djoko Tjandra.
Selain itu, penyidik telah menetapkan Anita Kolopaking sebagai tersangka.
Anita merupakan pengacara atau kuasa hukum Djoko, terpidana kasus pengalihan hak tagih Bank Bali, saat mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Juni 2020 silam.
https://nasional.kompas.com/read/2020/08/15/11430991/icw-pengusutan-kasus-djoko-tjandra-belum-tuntas