Sejak pandemi Covid-19, menurut dia, pemerintah mulai menyadari perlunya pemenuhan informasi untuk penyandang tuli.
"Sejak dulu penyandang tuli tidak pernah mendapatkan informasi yang cukup. Kemudian sejak pandemi justru mulai ada kesadaran pemerintah," ujar Laura dalam talkshow daring yang digelar Satgas Penanganan Covid-19, Sabtu (8/8/2020).
"Saya berpikir sebenarnya kendala yang dihadapi orang dengar dan tuli itu sama, yang membedakan adalah masalah pada pemberian akses komunikasi itu sendiri," kata dia.
Dampak positifnya adalah pemerintah dan masyarakat kini mulai memberikan perhatian lebih kepada penyandang tuli dengan menyediakan layanan juru bahasa isyarat, seperti yang dilakukan Satgas Penanganan Covid-19 dalam konferensi pers.
Laura berharap penyediaan layanan juru bahasa isyarat tidak hanya diberikan di masa pandemi Covid-19 saja, melainkan dilakukan secara berkelanjutan untuk ke depannya.
Untuk membantu penyandang tuli di masa pandemi Covid-19 ini, kata Laura, hal pertama yang perlu dilakukan adalah seluruh masyarakat harus memiliki kemauan untuk mempelajari bahasa isyarat.
Hal ini dikarenakan penyandang tuli hanya akan mendapatkan informasi apabila terdapat akses komunikasi berupa juru bahasa isyarat.
Pada kasus pemberian bantuan sosial, sebagian penyandang tuli telah mendaftarkan dirinya ke Kementerian Sosial dan mendapatkan bantuan tersebut.
Namun, sebagiannya lagi tidak memberikan data yang lengkap, sehingga bantuan tidak dapat diberikan.
"Sebelum mendaftar, tentu (penyandang) tuli itu perlu mendapatkan informasinya dulu, bagaimana caranya mendaftar. Supaya dia tahu caranya mendaftar ke kementerian terkait, tentu harus ada akses informasi yang diberikan yang sesuai dengan kebutuhan," kata Laura.
Selanjutnya, dia menyampaikan dampak lain pandemi Covid-19 bagi penyandang tuli.
Utamanya bagi anak-anak penyandang tuli yang masih bersekolah.
Pandemi ini mengharuskan pemerintah menutup tempat-tempat umum, termasuk sekolah bagi penyandang tuli.
Kemudian anak-anak penyandang tuli pun diarahkan untuk tetap berada di rumah.
"Sedangkan komunikasi dengan orang tua mereka tidak bisa dilakukan secara maksimal. Karena biasanya orang tua mereka adalah orang tua yang bisa mendengar," ucap Laura.
"Mereka belum sepenuhnya tahu cara berkomunikasi dengan anak mereka, sehingga anak (penyandang) tuli pun tidak merasakan adanya kenyamanan,” tuturnya.
Menanggapi hal tersebut, Laura menerangkan bahwa proses mempelajari bahasa isyarat harus dilakukan secara terus-menerus.
Maka orang tua penyandang tuli dapat mempelajarinya pada kelas bahasa isyarat dan mempraktekkan di rumah dengan anak secara rutin.
"Itu akhirnya akan membuka pintu komunikasi antara orang tua dengan anak-anak," tuturnya.
https://nasional.kompas.com/read/2020/08/08/23150011/sejumlah-kendala-penyandang-tuli-saat-pandemi-covid-19-